Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Enam warga Kota Medan meminta Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Wali kota (Perwal) Kota Medan No 11 Tahun 2020 tentang Karantina Kesehatan dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Sebab, Perwal tersebut dinilai telah melanggar peraturan perundang-undangan, khususnya UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan aturan teknis lainnya.
Permintaan pembatalan tersebut disampaikan Suryani Paskah Naiborhu, Daulat Viktor Sinaga, Violette, Ermin, Marina Natalia Popal dan Jeremia Setiawan, saat akan mengajukan gugatan uji materi Perwal Kota Medan, di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (11/5/2020) sore.
Namun, dalam proses pendaftaran uji materi di PN Medan sempat ditolak dan diarahkan untuk mendaftarkan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan dan diteruskan ke MA.
Suryani Paskah Naiborhu didampingi Jeremia Setiawan, dan kuasa hukumnya, Hisar M Sitompul SH MH dan Rinaldo Butar-Butar SH mengatakan, banyak isi dari perwal itu yang melanggar UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/Menkes/202/2020 tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri Dalam Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19), sehingga berpotensi merugikan warga Kota Medan.
BACA JUGA: Korban Corona Terus Bertambah, Robi Barus: Perwal Karantina Kesehatan Kota Medan Abal-abal
"Karena itu kami mengajukan permohonan uji materil ke MA dengan harapan pihak majelis hakim dapat membatalkan keseluruhan atau sebagian dari Perwal No 11 Tahun 2020 ini," jelasnya.
Suryani, bakal calon Wakil Walikota Medan dari Partai Gerindra ini mencontohkan, Pasal 6 ayat (1) Perwal Medan No. 11 Tahun 2020 yang menyebutkan, bahwa karantina rumah dilakukan pada situasi adanya dugaan ditemukannya kasus kedaruratan kesehatan masyarakat yang terjadi hanya di dalam satu rumah terhadap masyarakat yang berstatus sebagai pelaku perjalanan (PP), OTG, ODP dan PDP ringan.
Sedangkan Pasal 50 ayat (1) UU No 6 Tahun 2018 menyatakan bahwa karantina rumah dilakukan pada situasi ditemukannya kasus kedaruratan kesehatan masyarakat yang terjadi hanya di dalam satu rumah. Di samping itu UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga tidak mengenal pelaku perjalanan (PP) sebagai pihak yang wajib menjalani karantina rumah.
Suryani Paskah mengatakan, Pasal 6 ayat (1) tersebut seharusnya mengacu juga kepada Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/Menkes/202/2020 tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri Dalam Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19).
Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa karantina rumah dilakukan terhadap seseorang yang sakit (demam atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan/gejala penyakit pernafasan lainnya), namun tidak memiliki resiko penyakit penyerta lainnya (seperti diabetes, penyakit jantung, kanker, penyakit paru kronik, AIDS, penyakit autoimun, dan lainnya), dan pada Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang memiliki gejala demam/gejala pernafasan dengan riwayat dari negara/area tranmisi lokal, dan/atau orang yang tidak menunjukkan gejala tetapi pernah memiliki kontak erat dengan pasien positif Covid 19.
"Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/Menkes/202/2020 tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri Dalam Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19), di mana jika dia memiliki penyakit penyerta, maka tidak boleh menjalani karantina rumah atau isolasi diri, " ujarnya.
Kemudian Pasal 7 ayat (1) dari Perwal yang menyebutkan bahwa penyampaian penjelasan tentang karantina rumah dilakukan oleh gugus tugas kota. Sementara UU Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 51, menyatakan bahwa tugas itu dilakukan oleh Pejabat Karantina Kesehatan.
"Pasal 73 UU Nomor 6 Tahun 2018 menjelaskan bahwa yang dimaksud Pejabat Karantina Kesehatan adalah pejabat fungsional di bidang kesehatan serta ditugaskan di instansi kekarantinaan kesehatan yang memiliki kompetensi dan kualifikasi di bidang kekarantinaan kesehatan serta ditugaskan di instansi kekarantinaan kesehatan di pintu masuk dan di wilayah," tuturnya.
Begitu juga dengan Pasal 9 huruf d Peraturan Walikota Medan No. 11 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa rumah yang dikarantina diberi tanda Police Line dan dijaga oleh petugas karantina dan POLRI/TNI/Gugus Tugas Kota dan Gugus Tugas Kecamatan bertentangan dengan Bagian Kedua tentang Karantina Rumah yaitu Pasal 50, 51 dan 52 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018.
Contoh lain dari pasal pada Perwal yang dinilai tidak sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan adalah Pasal 9 huruf i yang menyebutkan bahwa pada beberapa rumah yang sangat berdekatan atau menggunakan kamar mandi dan sumur bersama maka terpaksa karantina rumah harus meliputi beberapa rumah yang berdekatan tersebut.
"Tidak ada pengaturan hal itu dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Ditambah banyak warga Kota Medan yang tinggal di ruko (Rumah Toko) atau kompleks perumahan sistem cluster di mana setiap ruko atau rumah mempunyai dinding yang menempel atau cenderung berdekatan, sehingga jika ruko atau rumah tetangga dihuni penderita COVID-19 maka terpaksa ruko atau rumah di sebelah lainnya akan juga di karantina," kata Suryani Paskah Naiborhu.
Contoh terakhir adalah Pasal 25 ayat (2) huruf b angka 3 Peraturan Walikota Medan No. 11 Tahun 2020 yaitu kewenangan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) salah satunya meliputi melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Walikota ini salah satunya berupa penahanan kartu identitas atau Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Hal ini, kata Suryani, bertentangan dengan Pasal 91 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa setiap penduduk sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat (5) yang berpergian tidak membawa KTP dikenakan denda administratif paling banyak Rp.50.000.
Oleh sebab itu, Suryani berharap agar MA mengabulkan permohonan uji materil ini dan memerintahkan Wali Kota Medan untuk mencabut dan menyatakan Peraturan Walikota Medan No. 11 Tahun 2020 tidak berlaku atau setidak-tidaknya pada ketentuan Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1) dan (2), Pasal 9 huruf a, b, c, d, e, h, dan i serta Pasal 25 ayat (2) huruf b angka 3.