Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Jika saya tidak salah tafsir, new normal itu adalah gaya hidup baru. Tidak melakukan sesuatu sebelum pandemi Covid-19 adalah normal. Misalnya, berjabat tangan, malah cipika-cipiki jika bersua teman akrab. Tidak juga gemar berada di tengah krumunan seperti pasar, kafe dan lainnya. Malah suka mencuci tangan.
Jika dilihat dari pengalaman pada masa sebelum pandemi corona, anjuran agar melaksanakan protokol kesehatan supaya mata rantai Covid-19 putus adalah abnormal. Namun sekarang diberi label new normal. Oke. Mari kita lupakan soal semantik itu.
Tetapi apakah dampak pandemi di sektor perekonomian dapat disebut sebagai new nomal, di sinilah persoalannya. Misalnya, terjadinya PHK, perumahan karyawan, belajar dari rumah serta mnurunnyyaa daya beli masyarakat serta melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Rasanya tak enak melegitimasikannya. Masakan PHK dan menurunnya pertumbuhan ekonomi dianggap new normal. Sebetulnya lebih persis disebut sebagai imbas dari pandemi Covid-19. Sebab jika disebut new normal, seolah-olah membiarkan sikap pasrah menermanya. Padahal harus berjuang mengatasinya.
Saya lebih setuju jika upaya pemerintah mengatasi virus corona sebagai new normal. Termasuk upaya pemerintah memulihkan perekonomian dari efek pandemi. Misalnya, menggelontorkan dana Rp 500 triliun lebih melalui APBN.
Tentu saja upaya pemerintah itu harus dibarengi masyarakat dan dunia usaha. Ya, sebatas yang mungkin tetap berproduksi. Tidak malah pasrah saja.
Sebab jika terus tak berbuat apa-apa akan berdampak buruk bagi ekonomi. Tapi bagaimana caranya?. Jika harus melonggarkan PSBB (pembatasan sosial berskala besar), dikhawatirkan akan mengundang gelombang kedua COVID-19. Kasus positif virus Corona akan melonjak.
Sebaliknya jika PSBB semakin diketatkan bagaimana dengan daya tahan masyarakat? Sampai seberapa kuat bertahan,dan sampai kapan? Bagi yang mempunyai tabungan lumayan bolehlah bertahan. Tapi bagi yang kais pagi makan petang, mau bagaimana lagi?
Memang ada dana bantuan sosial tunai dan sembako yang diluncurkan pemerintah, tapi sampai kapan kocek pemerintah mampu mensubsidinya? Sementara pemasukan dari pajak malah merosot. Aduh, maaf, saya tak bisa menjawabnya, Saudara! Namun sebagai bangsa kita tidak boleh berputus asa.