Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ketika BJ Habibie berkuasa pada 1998 silam, pertumbuhan ekonomi Indonesia hancur-hancuran digempur oleh krisis ekonomi. Sampai minus 13,8% pada 1998 silam. Namun di akhir kekuasaannya pada 1999, ekonomi bertumbuh 2%. Menaik sekitar 15%. Rupiah menguat dari Rp 16.800 menjadi Rp 6.500 per US$ pada 1999. Inflasi anjlok dari 77,6% menjadi 2%.
Dia tidak hanya membuat kebijakan ekonomi. Tetapi juga penuh dengan gebrakan politik. Dia bebaskan pers nasional, membebaskan tahanan politik, membuka peluang seluas-luasnya mendirikan partai politik serta mewujudkan otonomi daerah.
Lalu, menyelenggarakan Pemilu yang berbeda 180 derajat dengan orde bBaru. Tatanan politik baru inilah yang membuat kepercayaan dunia internasional, sehingga investor pun datang yang berakibat perbaikan ekonomi.
Memang jika kita kaji-kaji, krisis ekonomi 1998 tak lagi sebatas ekonomi semata. Namun sudah menjalar ke krisis kepercayaan atau trust.
Misalnya ketika IMF meminta pemerintah menutup 16 bank pada 1 November 1997, termasuk bank yang dimiliki keluarga Presiden Soeharto. Tujuannya, untuk mebangkitkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Namun pasar bereaksi negatif.
Masyarakat panik dan berbondong-bondong menarik dananya dari bank. Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) terpaksa mengambil langkah. Menjamin 100 persen semua simpanan di bank, dan menaikkan suku bunga deposito hingga 60 persen.
Masalahnya bukan masalah ekonomi semata. Tapi juga emosional. Salah satu kebijakan yang berpengaruh dalam meningkatkan kepercayaan terhadap Pak Habibie adalah saat menandatangani "penghentian" produksi pesawat N-250, pesawat ciptaannya sendiri. Bahkan, menghentikan semua bantuan pemerintah ke seluruh Industri strategis yang dibangun Habibie puluhan tahun.
Tentu saja masalah yang dihadapi Indonesia sekarang, yakni Covid-19 dengan segenap efeknya yang dahsyat, berbeda. Tapi gebrakan Habibie yang nonekonomi bisa menjadi referensi. Karena latar belakangnya berbeda, tentu dengan implementasi yang berbeda pula.
Mungkin, dengan meluncurkan gebrakan sosial, kebudayaan dan politik tapi disambut masyarakat dengan hati sukacita. Gebrakan diharapkan menghilangkan kejenuhan masyarakat dan membangkitkan gairah baru. Tetapi tidak kontradiktif dengan protokol kesehatan.