Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Sebuah penelitian ahli dari Prancis soal rokok bisa mengurangi potensi penularan COVID-19 beredar luas. Ahli dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ragukan hasil penelitian tersebut.
Sejumlah peneliti asal Perancis yang dipimpin oleh Makoto Miyara, Ahli Imunologi RS Pitie Salpetriere, Prancis. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal berjudul "Low Rate of Daily Active Tobacco Smoking in Patients With Symptomatic COVID-19" di portal sains Qeios.
Adapun penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel pasien yang terpapar COVID-19 yang menjalani rawat inap ataupun rawat jalan di RS Universitas Prancis.
"Pasien rawat inap dan rawat jalan yang terinfeksi COVID-19 di RS Universitas Prancis antara 28 Februari 2020 dan 30 Maret 2020 untuk pasien rawat jalan dan 23 Maret hingga 9 April untuk pasien rawat inap," tulis Makoto dalam jurnal.
Dalam penelitian itu, disebutkan pasien Corona yang dirawat dan merupakan perokok jumlahnya lebih rendah dibanding yang populasi umum dengan kelompok usia dan gender yang sama.
"Studi cross sectional pada pasien rawat jalan COVID-19 rawat inap menunjukkan bahwa tingkat perokok harian pada pasien dengan gejala COVID-19 lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum (di Prancis)," ungkap Makoto.
"Sebagai kesimpulan dari hasil penelitian kami, perokok aktif dapat dilindungi terhadap gejala COVID-19," lanjutnya.
Anggota Tim Departemen Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Iwan Ariawan meragukan hasil penelitian ini. Hal ini berdasarkan hasil pengukuran dan analisis yang dipaparkan Makoto.
Meski demikian, kata Iwan, di awal jurnal Makoto telah menyatakan bahwa mereka terbebas dari konflik kepentingan.
"Ini banyak disebarkan di grup WA, tapi kalau kita baca teliti, ini banyak bias dalam penelitian ini. dalam desain, pengukuran, dan analisis sehingga kesimpulannya ya meragukan," kata Iwan dalam Webinar HARI Tanpa Tembakau Sedunia, Senin (1/6/2020).
"(Meskipun) Di sini peneliti menyatakan tidak ada konflik kepentingan, enggak ada koneksi dengan pabrik rokok, bukan perokok dan mereka dokter dan mereka sadar akan bahaya rokok," sambungnya.
Dari segi penetapan sample misalnya, peneliti memang mengambil pasien COVID-19 di RS Universitas Prancis. Namun Iwan menyatakan mayoritas pasien yang terpapar COVID-19 di RS tersebut adalah tenaga kesehatan (nakes), yang memang tingkat kesadaran akan bahaya rokok sudah tinggi.
"kita lihat Lokasi penelitian di RS universitas, kayak di UI lah, ini RS universitas di Prancis. Jadi siapa yang dirawat di situ? Yang dirawat di situ sebagian besar tenaga kesehatan (nakes). Kita tahu memang proporsi perokok sudah rendah. Nanti kalau dapat di situ, ternyata pasien COVID-19 di RS itu merokok rendah ya jelas karena pasiennya kebanyakan nakes," ungkapnya.
Selain itu, para nakes pada umumnya terinfeksi saat menangani pasien. Maka, kata Iwan, tidak bisa disimpulkan bahwa rokok dapat mencegah infeksi di masyarakat luas.
"Ini karena kebanyakan terinfeksi dari RS bukan dari masyarakat sehingga penelitian ini enggak bisa menjawab apakah rokok mencegah orang terinfeksi COVID-19 di masyarakat. Ini dari segi lokasi menyangkut yang jadi sample dalam penelitian ini," jelasnya.
Kemudian, Iwan pun mempermasalahkan metode pengambilan sampel yang menanyakan langsung kepada pasien COVID-19 apakah ia merokok atau tidak melalui kuesioner. Merujuk pada penelitian Schofield & Hill, ia menyatakan tidak semua pasien akan mengakui bahwa dia perokok aktif.
"Ini ada satu penelitian dari Schofield & Hill yang membandingkan kalau pasien ditanya dia merokok atau tidak, terus dia cek urinenya ada nikotin atau tidak di urinenya, ternyata ya cuman separuh. Yang urinenya positif nikotin ngakunya enggak merokok. Ini agak bias. Kalau di RS orang agak malu mengatakan dia merokok. Ini yang kita sebut social disability bias," ungkapnya.
Iwan pun juga mengungkapkan bahwa penelitian ini tidak melibatkan mantan perokok aktif. Sehingga, ungkap Iwan, tidak bisa disimpulkan bahwa proporsi perokok aktif penderita COVID-19 lebih rendah dari seluruh Prancis.
"Kemudian, di penelitian ini dia simpulkan proporsi perokok aktif hanya 7%, jauh lebih rendah daripada proporsi perokok aktif di Prancis yang 32%. Wah, kelihatannya meyakinkan ya. Tapi hati-hati karena penelitian ini tidak mengikutsertakan mantan perokok. Karena kalau diikutsertakan jadi lebih tinggi proporsinya, bahkan jadi sama (dengan) yang merokok." Ujarnya.
"Kita lihat bagaimana peneliti ini menyimpulkan siapa yang eks smoker. Eks smoker dia bilang adalah siapa pun yang pernah merokok dulu entah itu sering, setiap hari tapi sebelum masuk RS dia sudah tidak merokok. Ini enggak jelas berapa waktu sebelumnya? Jadi, seminggu sebelum masuk RS juga eks smoker, kalau 1-2 hari juga eks smokers jadinya. Ini enggak diikutsertakan, Jadi mestinya analisisnya ikut sertakan eks smokers juga. Hasilnya juga akan beda," lanjutnya.dtc