Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pada awal penetapan sistem kerja work from home (WFH), tidak sedikit karyawan yang “tergiur” dengan sistem tersebut. Beberapa bahkan sangat “excited” dan memandang positif sistem tersebut. Sisi positif yang umumnya terpikirkan oleh karyawan adalah, pertama, dapat terhindar dari kemacetan. Masih dapat terbayang dalam ingatan kita bagaimana kondisi jalanan di pagi hari kala pandemi covid-19 belum muncul. Lalu lintas yang padat, macet, kendaraan yang saling berlomba, umpatan-umpatan dari sesama pengendara merupakan kondisi sehari-hari yang membuat diri kita lelah secara fisik maupun psikis.
Kedua, menghemat pengeluaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa bekerja di kantor ataupun di lapangan kita pasti akan mengeluarkan sejumlah dana, seperti biaya makan siang, membeli bensin atau ongkos angkutan umum. Dengan demikian uang keluar setiap hari kala bekerja di kantor/lapangan cenderung tidaklah sedikit.
Ketiga, terhidar dari virus corona. Virus corona menjadi hal yang sangat menakutkan bagi manusia yang ada di dunia. Penyebarannya yang cepat dan mematikan menjadi “musuh tidak kasat mata” yang sangat ingin dihindari.
Keempat, munculnya perasaan bahagia karena dapat berkumpul bersama keluarga selama WFH. Bagi karyawan yang bekerja penuh waktu, kebersamaan dengan keluarga pastilah terbatas. Waktu bersama dengan keluarga biasanya hanya dilakukan di hari Sabtu atau Minggu dan bagi kebanyakan karyawan dirasa tidak cukup.
Kelima, peningkatan produktivitas. Bagi sebagian karyawan, bekerja dari rumah pada awalnya dianggap akan lebih menyenangkan dan dapat lebih fokus. Rapat dengan pimpinan dan rekan kerja juga akan mudah karena banyaknya aplikasi “meeting online” yang menyuguhi kemudahan untuk presentasi, chat dan lain sebagainya.
Namun setelah berjalan hampir 3 bulan, seluruh gambaran “menggiurkan” yang terbayang diawal penetapan mekanisme WFH, ternyata tidaklah seindah bayangannya. Banyak permasalahan yang kemudian muncul.
Pertama adalah banyaknya gangguan pada saat bekerja yang menyulitkan karyawan untuk berkonsentrasi. Gangguan saat WFH tentu saja tidak dapat dihindari karena keberadaan anggota keluarga yang cenderung akan mempengaruhi konsentrasi karyawan. Kesulitan berkonsentrasi tersebut diakibatkan oleh beberapa hal, seperti anak-anak yang bising kala bermain di rumah, interupsi dari anggpta keluarga ketika sedang bekerja, pasangan yang butuh untuk dibantu dalam pekerjaannya, hingga lingkungan sekitar rumah yang tidak kondusif.
Kedua adalah tidak memadainya perlengakapan kerja yang dibutuhkan ketika WFH, sehingga efisiensi dalam bekerja menjadi berkurang.
Ketiga, hambatan komunikasi dengan atasan/bawahan/rekan kerja yang diakibatkan oleh jaringan internet yang lambat sehingga menyulitkan untuk berkoordinasi dan rapat online, dan terkadang menimbulkan kesalahpahaman dan memunculkan rasa lelah dikarenakan frekuensi meeting online yang tinggi.
Keempat, lamanya penyelesaian tugas dikarenakan fenomena “kaum rebahan”, di mana karyawan dapat mengerjakan tugasnya dengan lebih fleksibel, seperti di atas sofa, kasur ataupun kursi malas. Perilaku tersebut umumnya memiliki dampak negatif seperti menurunnya konsentrasi serta menimbulkan rasa malas.
Kelima, sulitnya membagi waktu untuk bekerja dan menyelesaikan tugas rumah tangga. Kesulitan ini umumnya terjadi karena karyawan harus membagi perhatiannya pada pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah, dan umumnya karyawan lebih banyak terfokus pada pekerjaan rumah tangga yang mau tidak mau juga menuntut penyelesaian agar dapat segera mengerjakan pekerjaan kantor.
Keenam adalah banyaknya tuntutan dari anggota keluarga lainnya, seperti suami, isteri ataupun anak-anak. Tuntutan untuk membantu dalam penyelesaian belajar anak, tuntutan dari pasangan untuk disiapkan makanan yang diinginkan, tuntutan dari pasangan untuk membantu tugas kantornya merupakan contoh dari kesulitan yang dialami oleh karyawan selama bekerja di rumah.
Dengan mempertimbangkan begitu banyaknya masalah yang dialami oleh karyawan, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara untuk mengatasi hal tersebut?
Pertama, karyawan harus dapat menerima dan berdamai dengan kondisi yang dialami. Menerima kondisi saat pandemi covid-19 bukanlah hal yang mudah. Perlu usaha yang kuat dari dalam diri untuk menerima dan berdamai dengan kondisi yang terjadi. Menerima dan berdamai dengan kondisi yang baru ini akan membawa kita pada suasana hati yang lebih baik dan meningkatkan kesejahteraan psikologis kita.
Kedua, berusaha untuk beradaptasi (adaptable to change). Ada satu ungkapan yang menarik yang disampaikan oleh Charles Darwin, tokoh pencetus teori evolusi yang hidup di era abad ke-18 yang berbunyi: “it is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change”.
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa secara umum yang dapat bertahan dalam kondisi tersulit adalah mereka yang paling mampu untuk beradaptasi dengan perubahan. Sejalan dengan ungkapan Darwin, maka dalam menghadapi pandemi covid 19 ini kita akan dapat bertahan apabila kita mampu menyesuaikan diri/beradaptasi dengan aturan yang diterapkan oleh pemerintah.
Ketiga, membangun komunikasi yang efektif. Seperti penjelasan di atas, permasalahan dalam pekerjaan ataupun dalam keluarga pada masa WFH ini umumnya tidak bisa kita hindari. Namun dengan membangun komunikasi yang tepat dan efektif, maka setidaknya kita dapat mengungkapkan apa yang menjadi pemikiran dan keinginan kita kepada pihak lain, sehingga pihak lain dapat memahami dan mengerti betul sehingga dapat terhindar dari munculnya perselisihan.
Keempat, membuat jadwal dan prioritas setiap hari. Dengan adanya jadwal dan prioritas harian, maka anak dan orang tua dapat terarah dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari dan memahami jadwal yang akan dilakukan oleh anggota keluarga lainnya.
Kelima, meluangkan waktu bersama keluarga. Meluangkan waktu bersama dalam keluarga merupakan hal yang sangat penting karena dapat menjadi ajang evaluasi untuk banyak hal, mendiskusikan hal-hal yang harus dilakukan, menguatkan ikatan (bounding) dalam keluarga serta menimbulkan rasa bahagia antar sesama anggota keluarga karena merasa dikasihi dan diperhatikan.
Keenam adalah “Me Time”. Istilah “Me Time” merujuk pada waktu khusus yang diperuntukkan bagi diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang disukai, seperti nonton televisi, membaca buku/novel, mendengarkan musik, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk Me-Re-Charge energi kita guna menjalankan aktivitas berikutnya
Demikian beberapa saran yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan kerja-keluarga selama masa pandemi ini. Tetap semangat dan selalu menjaga diri, agar kita dapat menjalani masa pandemic covid 19 ini. Salam Pro Deo Et Patria!
===
Penulis Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen Medan
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]