Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Washington DC. Amerika Serikat (AS) adalah negara yang paling parah terkena dampak pandemi Corona (COVID-19). Masalah ini semakin diperparah dengan rasialisme yang makin menjadi-jadi di negara Paman Sam itu.
Sebagaimana dikutip dari laman Worldometers, per Rabu (3/6/2020) jumlah kasus Corona di AS sudah mencapai 1.866.730. Ada 107.429 orang meninggal dunia dan 616.856 orang sembuh. Kondisi ini diperparah dengan rasialisme yang tumbuh saat pandemi.
Seperti dilansir dari BBC, Selasa (3/6) serangan terhadap orang-orang Asia Timur yang tinggal di AS meningkat selama pandemi, hal ini mengungkap kenyataan betapa tak nyaman menyandang identitas sebagai orang Asia ataupun Cina di Amerika.
Seperti kisah Tracy Wen Liu, meskipun dia tidak dilahirkan di AS, Tracy Wen Liu dalam kehidupan sehari-harinya merasa "menjadi warga negara Amerika".
Dia menyaksikan pertandingan sepak bola, menonton Sex and the City, dan menjadi tenaga relawan di tempat penyaluran bahan makanan.
Sebelum pandemi COVID-19, Liu, 31, tidak berpikir apa-apa tentang menjadi orang Asia Timur yang tinggal di Austin, Texas. "Jujur, saya pikir saya tidak terlalu menonjol," katanya.
Namun semua itu berubah. Merebaknya Corona di AS, membuat menjadi orang Asia di Amerika bisa menempatkan Anda sebagai sasaran - dan banyak orang, termasuk Liu, sudah merasakannya.
Dalam kasusnya, Liu mengatakan seorang temannya yang berasal dari Korea didorong dan diteriaki oleh beberapa orang di tempat berbelanja, dan kemudian diminta untuk pergi, hanya karena dia orang Asia dan mengenakan masker.
Di berbagai negara bagian termasuk New York, California, dan Texas, orang-orang dari Asia Timur diludahi, ditinju atau ditendang - dan dalam salah satu kasus bahkan ada yang ditusuk.
Terlepas dari apa yang dialami seperti kekerasan, perundungan, atau berbagai bentuk pelecehan sosial atau politik yang lebih berbahaya, lonjakan prasangka anti-Asia membuat banyak orang Asia - merujuk pada warga keturunan Asia Timur atau Asia Tenggara - bertanya-tanya apakah mereka pantas menjadi bagian dari masyarakat Amerika.
"Tujuan saya ketika pertama kali datang ke sini lima tahun yang lalu adalah menyesuaikan diri dengan budaya Amerika secepat mungkin," ujar Liu.
"Lantas pandemi menyadarkan saya bahwa karena saya orang Asia, dan karena penampilan saya atau di mana saya dilahirkan, saya tidak pernah bisa menjadi salah satu dari mereka."
Setelah temannya mengalami hal yang tidak menyenangkan di supermarket, Liu memutuskan untuk memiliki sebuah senjata.
"Saya harap saya tidak akan menggunakannya," katanya, seraya menambahkan, "karena kalau itu terjadi situasi akan menjadi sangat.., sangat buruk, sesuatu yang bahkan tidak ingin saya bayangkan."
Pihak berwenang di New York City dan Los Angeles mengungkapkan berbagai insiden terkait kebencian terhadap orang-orang keturunan Asia mengalami peningkatan.
Sementara itu sebuah pusat pelaporan yang dikelola oleh kelompok-kelompok advokasi dan Universitas Negeri San Francisco mengatakan pihaknya menerima lebih dari 1.700 laporan diskriminasi terkait virus corona dari setidaknya 45 negara bagian AS sejak diluncurkan pada bulan Maret.
Petugas kepolisian yang berada di 13 negara bagian, diantaranya Texas, Washington, New Jersey, Minnesota dan New Mexico, juga bereaksi terhadap berbagai insiden kebencian yang dilaporkan.
Para pengamat mengatakan kalangan yang berada di puncak pimpinan telah memperburuk keadaan - baik Presiden Donald Trump maupun Joe Biden - dituduh memicu sentimen anti-Asia ke berbagai lapisan masyarakat dengan bahasa yang mereka gunakan ketika berbicara tentang peran Cina dalam wabah tersebut.
Dan bagi banyak orang-orang Amerika keturunan Asia, selain merasa diserang, mereka juga merasa seolah-olah jati diri mereka sebagai orang Amerika tengah diserang.
Banyak warga keturunan Asia Amerika dan orang-orang Asia di Amerika mengutarakan perubahan drastis yang mereka alami setelah wabah melanda.
Kimberly Ha misalnya, perempuan berusia 38 tahun, mengatakan dia merasakan perbedaan itu pada bulan Februari, setelah ada orang asing yang mulai meneriakinya saat dia berjalan dengan anjingnya di New York.
"Dia berteriak: 'Saya tidak takut pada orang-orang Cina yang radioaktif' dan mulai menunjuk ke arah saya, lalu dia berteriak lagi 'kalian tidak boleh berada di sini, keluar dari negara ini, saya tidak takut dengan virus ini yang kalian bawa," perempuan keturunan Cina Kanada yang sudah tinggal di New York selama lebih dari 15 tahun itu menuturkan.
Pada minggu-minggu berikutnya, dia juga memperhatikan ada "satu dari 10" orang yang dia temui di depan umum tampak marah saat menatapnya. "Saya belum pernah merasakan tingkat permusuhan seperti itu sebelumnya," katanya.
Sementara Madison Pfrimmer, 23, yang tinggal di California, sudah mendengar tentang berbagai serangan anti-Asia.
Bulan April lalu, dia membantu pasangan lansia Cina di sebuah supermarket di Los Angeles. Madison menerjemahkan ketika mereka berhadapan dengan seorang perempuan yang marah-marah sembari melontarkan sumpah serapah dan melemparkan botol air mineral ke mereka dan menyemprotkan disinfektan.
"Dia berteriak, 'beraninya kalian datang ke toko tempat keluarga saya berbelanja, beraninya kalian datang dan merusak negara saya. Kalian adalah alasan mengapa keluarga saya tidak dapat menghasilkan uang,'" kenang Madison yang memiliki keturunan Cina.
Kelompok-kelompok HAM Asia dan San Francisco State University bekerja sama untuk memulai database bernama STOP AAPI HATE, yang mencatat laporan diskriminasi Covid-19 yang diarahkan pada orang-orang Asia Amerika dan Kepulauan Pasifik di AS.
Mereka menerima berbagai laporan dari 45 negara bagian, di mana sebagian besar kasus-kasus tersebut terjadi di California dan New York.
Insiden yang tercatat sejauh ini yang paling umum terjadi berupa pelecehan secara verbal. Namun penyerangan fisik, diskriminasi di tempat kerja, dan vandalisme muncul juga dalam database - kaum perempuan lebih banyak menjadi sasaran ketimbang laki-laki.(dtc)