Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Sibolga. Rapat paripurna DPRD Sibolga tentang penyampaian rekomendasi terhadap laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPj) Wali Kota Sibolga tahun 2019, Kamis (28/5/2020) lalu, berbuntut panjang dan menjadi polemik. Pada rapat tersebut, Ketua DPRD, Akhmad Syukri Nazry Penarik dan wakil ketua, Jamil Zeb Tumori, membeberkan beberapa isu yang beredar di masyarakat yang menjurus fitnah kepada Wali Kota Sibolga, Syarfi Hutauruk.
Ketua Badan Kehormatan DPRD (BKD) Sibolga, Mukhtar Nababan menyatakan, bahwa apa yang disampaikan Ketua DPRD Sibolga pada rapat paripurna tersebut sudah sesuai dengan ketentuan. Tidak ada pelanggaran kode etik.
“Memang, saat rapat paripurna LKPj kemarin saya tidak hadir, namun berdasarkan informasi yang saya terima. Perlu saya tegaskan, tidak ada pelanggaran kode etik,” tegas Mukhtar Nababan, Selasa (2/5/2020) di gedung dewan.
Mukhtar menjelaskan, hak imunitas anggota DPRD itu jelas mengikat, apalagi itu sifatnya sidang paripurna. Apa yang disampaikan ketua DPRD itu dengan kata-kata yang sopan, menggunakan azas praduga tak bersalah. “Semua yang disampaikan menggunakan bahasa diduga,” kata Mukhtar.
Tetapi, pernyataan Mukhtar Nababan tersebut, kemudian diprotes anggota BKD Sibolga, yakni Mandapot Pasaribu.
Menurut Politikus Partai Perindo itu, Muhktar Nababan terlalu cepat menyimpulkan, atau membuat kesimpulan sendiri tanpa mengadakan rapat dengan anggota BK DPRD yang lain.
“Seharusnya, BKD Sibolga merapatkan dan melakukan penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi terlebih dulu,” ungkap Mandapot Pasaribu, kepada wartawan di Sibolga, Kamis (4/6/2020).
Dikatakan, Muhktar yang tidak hadir pada rapat paripurna, tetapi langsung mengambil kesimpulan sendiri. Padahal, saat itu salah satu anggota DPRD Sibolga, Agustina menginterupsi pimpinan rapat. “Agustina menentang, bahwa apa yang disampaikan pimpinan rapat tidak sesuai dengan materi rapat,” ujar Mandapot.
Menurut Mandapot, sesuai tugas dan fungsi BKD dalam Tatib DPRD Sibolga sebagaimana turunan dari MD3, pasal 82 ayat 1, (huruf a), bahwa fungsi dan tugas BKD adalah memantau dan mengevaluasi disiplin dan kepatuhan anggota DPRD terhadap sumpah/janji dan kode etik.
Pada (huruf b), meneliti dugaan pelanggaran terhadap sumpah/janji dan kode etik yang dilakukan anggota DPRD.
Selanjutnya (huruf c), melakukan penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan DPRD, anggota DPRD dan/atau masyarakat.
Kemudian (huruf d), melaporkan keputusan BKD atas hasil penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada rapat paripurna.
Kemudian pada ayat 2, bahwa tugas BKD dilaksanakan untuk menjaga moral, martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPRD.
“Jika dihubungkan dengan kronologi rapat paripurna DPRD Sibolga, pada 28 Mei 2020 lalu, (huruf c) bisa terjadi, sebab ada interupsi dari anggota DPRD Agustina di rapat tersebut,” katanya.
Bila Agustina membuat pengaduan ke BKD, maka terjadilah rapat BKD untuk evaluasi/klarifikasi apa yang terjadi dalam sidang paripurna lalu.
Mandapot Pasaribu juga membenarkan tentang hak imunitas anggota DPRD. Pada pasal 115 tatib ayat 2 dikatakan bahwa DPRD tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan atau pendapat yang dikemukakannya.
Baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD atau di luar rapat DPRD, yang berkaitan dengan fungsi, tugas dan wewenang, serta tidak bertentangan dengan peraturan tatib dan kode etik.
Menurut Mandapot, pada ayat 4, disebutkan tidak berlaku ayat 2, dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan, atau hal-hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara, sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
“Kemudian, pada ayat 5, bahwa setiap anggota DPRD yang melanggar ayat 4, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan laporan BKD, yang tidak bersifat fitnah maupun direkayasa dan diteruskan dalam paripurna,” katanya.
Sedangkan dalam kode etik DPRD, pada pasal 192 (ayat 1), pernyataan yang disampaikan dalam rapat adalah pernyataan dalam kapasitas sebagai anggota DPRD, pimpinan, masing-masing alat kelengkapan/pimpinan DPRD.
“Dan ayat 2, bahwa pernyataan di luar sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dianggap sebagai pernyataan pribadi,” tukasnya.