Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Waduh, kedua ibu itu perang mulut. Padahal hanya karena anak mereka berkelahi karena salah satunya kalah main guli. Eh, si anak sudah kembali bermain bersama, tapi ibunya malah asyik "perang muncung."
Di Tapanuli orang macam itu disebut "parbada" (bahasa Batak).Mereka cekcok dengan memuntahkan kata-kata. Pribadi lawan dilecehkan. Saling merasa paling benar, orang lain salah belaka. Suara melengking. Orang-orang pun asyik menontonnya.
Saya pernah menulis fenomena ini lebih setahun lalu, di ruangan ini juga. Saya mengira hal yang tak elok itu sudah jarang terjadi. Zaman sudah berubah.
Ternyata sekarang "perbada" kian tren. Sudah migrasi pula ke panggung politik. Aduhai, tak hanya tim sukses, bahkan para capres dan cawapres pun meramaikan gejala ini. Tak percaya? Simaklah berita-berita belakangan ini.
Memang, tak jarang para politikus berdebat tajam dalam talk show di televisi. Berebut berbicara, bahkan saling ngomong bersamaan, entah siapa yang mau didengarkan. Moderatornya sampai kelabakan menengahinya.
Kita ingat bahkan debat para calon pemimpin dalam Pilkada pun dimulai dengan pemukulan lonceng, pertanda peserta mulai dan berhenti berbicara. Bah, laiknya pertandingan tinju saja.
Peserta debat di televisi kerap merasa paling benar. Tak mencoba mendengar pendapat orang lain yang berbeda, walau bukan generalisasi. Benar-benar mirip "parbada."
He-he, sesekali moderatornya malah latah menjadi "parbada." Menyerang pembicara karena ada analisis framing di benaknya - untuk menggiring penafsiran publik. Bukannya bersikap netral.
Para "parbada" juga sudah merasuk ke media sosial macam Facebook an Twitter. Saling benci, saling hujat jadi gaya. Postingan pun berpola black and white. We and the other. Melebarkan perbedaan, bukan mencari persamaan. Inikah,"parbada elektronik" alias Parbel?
Aduh, tak hanya migrasi orang desa ke kota. "Parbada" pun sudah ikut berurbanisasi. Lalu, menjelma menjadi "parbada politik" dan "parbada elektronik." Padahal, kita satu bangsa satu Tanah Air. (Bersihar Lubis)