Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Masyarakat Sumatra Utara (Sumut) khususnya orang Batak, menyesalkan pernyataan Gubernur Sumatra Utara (Sumut) Edy Rahmayadi tentang penanganan babi yang terkena virus hog cholera atau African Swine Fever (ASF). Masyarakat berharap, pemerintah berusaha keras mencari solusi mengatasi masalah itu, bukan melempar pernyataan yang justru meresahkan masyarakat.
"Apa memang benar tidak ada teknologi atau obat yang bisa mencegah virus itu. Lagipula logikanya, harusnya sumber penyakitlah yang diberantas bukan babinya," kata Sekretaris Jenderal Batak Center, Jerry RH Sirait menjawab medanbisnisdaily.com, Selasa (7/1/2020).
Ditambahkan Jerry, membunuh semua ternak babi yang ada di Sumut dan menunggu 20 tahun lagi untuk masa pemulihan, tidak hanya berdampak secara ekonomi, namun juga merusak tatanan adat dan budaya Batak.
"Bukan hanya ekonomi, kalau babi dihilangkan dari Sumut, apalagi untuk jangka waktu 20 tahun ke depan, bisa merusak tatanan adat orang Batak. Dalam adat sebagian orang Batak, babi itu bagian yang tidak terpisahkan. Apalagi program pemerintah pusat di bidang kebudayaan adalah memperkuat kebudayaan nasional yang pilarnya adalah kebudayaan daerah," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam pernyataan ke media Senin (6/1/2020), Gubernur Edy menyebutkan dia ingin memusnahkan virus itu dan satu-satunya cara adalah dengan memusnahkan seluruh babi, baik yang terjangkit virus maupun yang masih hidup.
Cina menurut Edy, sudah pernah memusnahkan seluruh babi untuk menghentikan perkembangan virus itu, namun butuh waktu 20 tahun berikutnya untuk bisa kembali beternak babi.
Begitu pun dengan memusnahkan babi, tidak semudah yang dibayangkan. Selain butuh biaya besar untuk mengganti rugi babi milik masyarakat maupun perusahaan, juga karena dampak sosialnya di masyarakat. Sebagaimana diketahui, ada sekitar 3 juta ekor populasi babi di Sumut.
Namun di sisi lain jika seluruh babi tidak dimusnahkan, jumlah babi yang mati di Sumut cepat atau lambat dipastikan semakin banyak lagi, sebab hingga sejauh ini belum ada ditemukan obat virus ASF.
Kondisi itu menjadi dilema bagi Gubernur Edy. Hingga sejauh ini pula, Edy belum mau menyatakan wabah di Sumut sebagai bencana. Butuh waktu 1 bulan baginya sebelum nantinya mengambil keputusan musnahkan atau tidak.
"Ada dilema di situ, kalau saya iyakan ini bilang bencana, semua babi ini harus dimusnahkan. Kasih saya waktu satu bulan," kata Edy..
Sebelumnya, Pemerintah RI melalui Kementerian Pertanian telah menetapkan 16 daerah di Provinsi Sumut positif terjangkit penyakit ASF babi. Hal itu diumumkan Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo, dalam Surat Keputusan Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 tentang pernyataan wabah penyakit demam babi afrika (African Swine Fever) tertanggal 12 Desember 2019.
Adapun16 daerah itu adalah Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan.
Lebih lanjut Gubernur Edy mengatakan yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan pengetatan antisipasi wabah tersebut. Melalui tim di posko-posko, terus mengawasi keluar masuknya kendaraan yang membawa hewan ternak babi.
Tim itu aktif bekerja untuk mengawasi babi-babi agar tidak keluar dan masuk begitu saja di Sumut. "Yang kita antisipasi masuknya babi dari luar ke dalam dan sebaliknya, supaya tidak menular ke tempat lain," ujarnya.