Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya berimajinasi suatu hari ada sirkuit MotoGP di jalan lingkar (ring road) di Pulau Samosir. Lalu, menjadi arena MotoGP (grand prix sepeda motor). Cukup 5,5 km saja. Tak perlu menggunakan ring road yang sekarang dari total sepanjang 145,9 km, tinggal 21 km lagi yang belum ditingkatkan kualitasnya.
Memang, semua sudah disambungkan, sudah beraspal. Yang masih belum dilebarkan dengan standar tujuh meter itu tinggal 21 kilometer dari Pangururuan sampai ke Nainggolan. Selama ini, lebar jalan lingkar Pulau Samosir hanya sekitar 4,5 meter.
Tentu saja sirkuit MotoGP harus dibangun khusus. Kualitas jalan di sirkuit harus nyaman untuk balapan sepeda motor. Tidak bergelombang. Agar pebalap bisa bermanuver minimal lebar lintasan 15 hingga 20 meter.
Juga masih memerlukan banyak area paddock, area grand stand berkapasitas puluhan ribu, jika tak ratusan ribu tempat duduk. Area berdiri juga mencapai ratusan ribu orang, termasuk hospitality suites berkapasitas ribuan pengunjung.
Saya bermimpi seperti itu, arena kini MotoGP Mandalika, Lombok sedang dipersiapkan, dan akan rampung dan digelar pada 2021.
Syahdan, sirkuit Mandalika berkonsep street circuit dan sudah mendapatkan izin dari MotoGP untuk difungsikan sebagai jalan biasa, saat tidak digunakan untuk even balap.
Namun sirkuit MotoGP Mandalika dibangun dengan konsep terintegrasi dan menjadi bagian dari distrik entertainment dan sport terpadu. Persisnya, akan digunakan sebagai destinasi pariwisata.
Merindukan Bulan
Lombok sudah mencuri start. Bagaimana dengan Danau Toba yang dicekam kegalauan dengan Festival Danau Toba yang selalu dirundung malang karena sepi pengunjung. Target akan dikunjungi satu wisatawan asing rasanya bagai pungguk merindukan bulan.
MotoGP memang magnet bagi pariwisata. Akan ramai pengunjung, apalagi Indonesia merupakan salah satu pengguna motor terbesar di dunia. MotoGP sebagai sport toutism akan memacu iklim pariwisata,
Misalkan MotoGP digelar di Pulau Samosir, hotel-hotel akan penuh. Restoran ramai. Suvenir laku bak pisang goreng. Apalagi disertai ataksi kebudayaan yang eksotik dan memukau, Danau Toba tak lagi bermuram durja karena FDT-nya sunyi senyap.
Tengoklah Singapura kini juga berhasrat menggelar Moto GP. Melalui Singapore Tourism Board (STB), MotoGP dinilai bisa menjadi kegiatan bisnis yang menguntungkan.
Syahdan, MotoGP di Asia terbilang cukup besar, mengalahkan Formula 1. He-he, apalagi ada persaingan di MotoGP yang sengit semisal pembalap hebat seperti Marc Marquez hingga Valentino Rossi.
Singapura ingin mengikuti jejak negara Asia Tenggara lainnya yang sudah sukses menggelar MotoGP, yakni Thailand sejak tahun lalu. Terlebih, Thailand menjadi saksi Marc Marquez mengunci gelar juara dunia MotoGP 2019.
MotoGP itu ajang bisnis. Membuka peluang pemasukan dana dari sponsor pabrikan motor seperti Kawasaki, Honda, Yamaha, dan Suzuki. Belum lagi biaya broadcasting penayangan televisi.
Jangan lupa jika MotoGP sangat populer di seluruh dunia, penontonnya di televisi saja sampai 430 juta orang. Begitu pula di Indonesia. Di Thailand itu sampai 300.000 penontonnya.
Wah, betapa fantastis pebalap sepeda motor berlomba di sekeliling Pulau Samosir seraya disaksikan Danau Toba nan membiru memanjakan mata.
Bung Karno
Saya tidak tahu apakah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut dan Pemkab di kawasan Danau Toba serta BPODT tertarik terhadap imajinasi ini. Mungkin dianggap terlalu fantastis, atau malah mustahil.
Tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan konsep yang matang. Jika pemerintah pusat dan dunia swasta menggelontorkan dana untuk destinasi Danau Toba sampai Rp 10 triliun, mengapa tidak diperjuangkan agar dialokasikan sebagian untuk sirkuit MotoGP di Pulau Samosir.
Susunlah konsep yang workable. Yang masuk akal termasuk menghitung return of investment (RoI). Gambarkan juga prosfeknya. Lobilah pemerintah pusat dan para investor dengan gencar. Tentu saja untuk program jangka menengah. Bukan angan-angan tukang cendol.
Saya ingat Descartes. Cogito ergo sum. Filsuf ternama dari Perancis itu berkata, bahwa "aku berpikir maka aku ada." Apalagi Bung Kano pun berpesan, “gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit.