Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis – Medan. Impor sayuran Sumatera Utara (Sumut) pada Februari 2013 melonjak menjadi US$ 6,065 juta dari US$ 2,364 juta pada Januari 2013. Volumenya juga naik dari 3.386 ton menjadi 9.177 ton. Lonjakan importasi sayuran ini disebabkan meningkatnya permintaan sejumlah komoditas sayuran yang rerata didatangkan dari China, Thailand dan India.
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, importasi bawang dari India pada Februari tercatat senilai US$ 829,946 dan volume 341 ton atau naik 407,37% dari Januari yang hanya US$ 163,578 dan volume 1.753 ton. Selanjutnya ada impor bawang merah dari Thailand senilai US$ 201,600 dengan volume 448 kg atau naik 7,49% dari Januari senilai US$ 187,551 dan volume 303 ton, dari Vietnam senilai US$ 537,600 dan volume 1.120 ton.
"Ada juga impor bawang bombai dari China senilai US$ 3,547 juta dan volume 4.741 ton atau naik 138,50% dari Januari yang nilainya masih US$ 1,487 juta dan volume 3.975 ton," kata Kepala Seksi Statistik Niaga dan Jasa BPS Sumut Hafsyah Aprillia, di Medan, Selasa (2/4).
Disebutkannya, sayuran impor yang dimasukkan ke Sumut masih didominasi bawang merah, bawang putih, wortel, jamur, cabai, bayam, sayuran segar lainnya, kentang dan kacang kapri. Sedangkan negara asal, selain China, Thailand, dan India, ada juga dari Myanmar (Burma), Australia, Ethiopia, Malaysia, Vietnam, Inggris, Kenya dan Amerika Serikat (AS).
Litbang Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumut, M Idris, mengatakan, rantai pemasaran produk sayuran di Sumut yang tidak bagus menyebabkan distribusinya tidak merata.
Hal ini,katanya, enjadi pemicu tingginya importasi sayuran. "Kualitas sayuran Sumut kan bagus dan sudah memakai sistem pertanian yang cukup baik. Namun kenyataannya, masih banyak restoran dan hotel-hotel bertaraf internasional di Sumut yang memilih sayuran impor. Harusnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) harus bisa mencari solusi, sehingga petani tidak dirugikan,” sebutnya.
Menurutnya, untuk membatasi jumlah importasi sayuran ini perlu kebijakan seperti soal harga dan analisis tentang pengawasan. Dikatakannya, harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah harus sampai ke petani. “Jangan justru di lapangan, HET tersebut tidak berlaku. Jadi, petani masih bisa mendapatkan harga yang cukup bagus dan bisa membayar ongkos produksi,” kata Idris yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Alwasliyah Medan.
Pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Medan, M Ishak, mengatakan, besarnya impor ini akan menjadi bumerang bagi petani lokal dalam meningkatkan margin. Dipastikan kondisi ini akan merugikan petani karena ketergantungan akan impor semakin tinggi. (elvidaris simamora)