Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Memadu Resam Terbilang Agar Adat Budaya Tak kan Hilang, demikian motto budaya orkes Al-Aulia Rentak Melayu. Kecintaan terhadap budaya Melayu jualah yang membimbing naluri bisnis Nurdin Wahyudi SSos, pendiri orkes Al-Aulia Rentak Melayu, menekuni seni budaya Melayu dan mendirikan akhirnya mendirikan orkes Melayu kenamaan yang sudah ditanggap di berbagai acara dan dikenal luas bahkan di kalangan pejabat pemerintahan dengan omzet puluhan juta per bulan.
Semakin merosotnya minat terhadap seni budaya Melayu menjadi peluang bisnis bagi Nurdin dan tim nya di orkes Melayu meraup untung dengan tampil di berbagai even. Tak hanya mengisi hiburan di pesta pernikahan, juga perhelatan lainnya seperti pernah tampil diundang untuk pesta pernikahan di Kuala Lumpur, tampil di pementasan budaya di Hotel JW Marriot, Medan. Personel di orkes Melayu ini pun tertempa dengan skill yang kian mumpuni terbukti dari berbagai prestasi yang mereka raih di antaranya Juara I Festival Orkes Irama Padang Pasir Se -Sumatera Utara pada Ramadhan Fair I ( Pertama Sekali ) di kota Medan, Juara Festival Nasyid Putri Se Sumatera Utara di Mandailing Natal, dan Juara II Festival Nasyid Putra Se-Sumatera Utara di Mandailing Natal serta Juara Pertama Festival Langgam Melayu di Hamparan Perak dan Melayu Dua Dimensi Batang Kuis untuk tingkat Sumatera Utara.
Cerita punya cerita, kecintaan Nurdin akan seni budaya Melayu ini tak lepas dari kecintaannya akan musik. Suatu hari, waktu Nurdin Wahyudi masih duduk di bangku SMP, ia melihat pertunjukan seorang pemain musik kibot (baca:keyboard). Di tahun itu tepatnya 1992, alat musik ini mulai dimainkan untuk menghibur acara-acara keluarga di gang-gang rumah. Nurdin yang sejak kelas 5 SD sudah gemar dengan alat musik, bahkan sudah mahir bermain gitar untuk acara 17-an. Ketertarikannya pun tak terbendung terhadap alat musik kibot elekton ini, meski ia sudah sempat ikut nge-band di bangku SMP dan SMA. Alat musik ini seperti menyihirnya untuk belajar memainkannya. Tapi karena keterbatasan biaya, ia tidak bisa langsung belajar bermain kibot.
Sempat juga numpang di rumah kerabat atau temannya untuk belajar memainkan alat musik ini. Tapi karena malu asik menumpang saja, ia pun berinisiatif belajar dengan kibot buatan, meski tak bersuara cukuplah baginya belajar menggerakkan tangannya dari tuts nada satu ke nada yang lain. Kibot buatan pun semula ia bikin dari karton, lalu karena mudah rusak ia bikin pula dari papan bekas, dan belakangan ia gunakan bangkai kibot untuk melatih jari jemarinya. Bersyukur ia cepat belajar alat musik ini. Tahun 1997 ia memberanikan diri untuk tampil pertama kali, meski hanya dibayar 10 ribu rupiah, honor yang sangat kecil waktu itu. Tapi cukup menyenangkan hatinya.
Karena tak punya biaya untuk melanjutkan kuliah selepas bangku SMA, dia pun bermain kibot mengisi acara-acara pernikahan dan ulang tahun. Sempat diejek karena tak bisa memainkan jenis lagu lain, ia bertekad terus belajar. Cita-citanya yang dulu bermain musik lewat grup band terpaksa ia kubur sementara. Alasan ia bermain kibot, selain praktis dengan memanfaatkan satu alat musik saja, ia juga cukup membawa satu atau dua orang penyanyi. Seiring berjalan waktu, ia pun terlibat lebih mendalami musik Melayu. Nurdin sendiri merupakan orang Melayu dari sang ayah. Untuk menguasai musik Melayu lebih banyak lagi, pria yang saat ini berusia 37 tahun bergabung dengan orkes Melayu yang besar waktu itu, di tahun 1999 bersama Asyabab pimpinan alm Zulfan Efendi Lubis. Orkes Melayu ini sudah terkenal bahkan pemain-pemainnya sudah banyak rekaman. Dari sinilah Nurdin mengisi sebagai pemain kibot cadangan. Baru di tahun 2000, ia beranikan diri dan meminta izin keluar orkes ini untuk membuat grup sendiri.
Jatuh bangun yang dia tempuh, akhirnya membawanya bisa mendirikan 3 grup orkes Melayu, yang pertama Al-Auliya Rentak Melayu yang sudah dikenal di Medan saat ini. Merintis bersama sang istri, Rabiatul Adawiyah, MA (32) orkes Melayu ini pun dikenal di kalangan pejabat daerah, baik di Kota Medan, Aceh dan kota lain di Pulau Sumatera. Bukan itu saja, grup musik ini bahkan diundang pada acara pernikahan di negara jiran Malaysia. "Komitmen dan loyalitas pada grup menjadi kunci dari bisnis entertaiment ini," jelas Nurdin. Selain itu punya ciri khas, menjadi ingatan orang-orang yang memakai jasa mereka. Setidaknya dalam sebulan omzet yang didapat sedikitnya sekitar 50 puluh juta rupiah. Kunci di marketing atau pemasaran juga merupakan hal yang penting. Karena kebanjiran omzet tiap minggunya, maka Nurdin berani mendirikan grup orkes Melayu hingga 2 grup. Selain itu, ia juga merintis bisnis entertainment lain seperti menyediakan jasa MC, event organizer dan dancer. (wina vahluvi)