Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Backdrop besar di panggung utama Anjungan Sumut TMII Jakarta, menampilkan potret dramatis yang bersejarah. Presiden Soekarno yang tersenyum riang, menerima rombongan penari Serampang Duabelas yang dipimpin oleh Sauti di Istana Bogor, sesaat sebelum berangkat ke Beijing dan Moskow. Di foto itu, terlihat Sauti dan para penari, serta para pemusik, di antaranya, Chairuddin Dahlan, atau biasa dipanggil Tok Udin Gendang. Seorang seniman penabuh gendang, kesayangan Guru Sauti, yang belajar bermain gendang sejak usia remaja, ditahun 50-an.
“Sudah bertahun-tahun, Tok Udin Gendang tak lagi menabuh gendang. Maestro seni musik tradisi Melayu ini sudah menjual semua gendangnya. Bahkan gendang bertuah hadeiah dari Presiden Soekarno. Sehari-hari kini, ia berjualan minyak campur di pinggir jalan Kecamatan di Batang Kuis.” demikian Tatan Daniel, Kepala Anjungan Sumatera Utara menyampaikan narasi menggugah, mengawali upacara pembukaan Festival Tari Serampang Duabelas se-Nusantara III Tahun 2017, di Anjungan Sumatera Utara – Taman Mini “Indonesia Indah” Jakarta, Sabtu pagi, 9 September 2017.
Pembukaan secara resmi Festival oleh H. Biem Triani Benjamin, Ketua Pengurus Wilayah Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (PW MABMI) DKI Jakarta, yang juga anggota DPR RI, didampingi oleh Direktur Budaya TMII, Sulistyo Tirtokusumo, ditandai dengan penyerahan gendang baru oleh Biem kepada Tok Udin Gendang, yang bernama asli Chairuddin Dahlan.
Diharapkan, dengan gendang ‘pak pung’ yang pembuatannya dibiayai oleh tokoh pecinta seni Ali Djauhari itu, Tok Udin dapat bermain kembali dan menunjukkan kepiawaiannya sebagai empu penabuh gendang yang dahsyat, mengangkat marwahnya sebagai seniman pewaris dan penerus kesenian Melayu yang terhormat, mendudukkannya sebagai guru seni gendang, dan menjadi sumber rujukan sejarah, bagi para pegendang dan seniman musik muda. Tok Udin, dalam usianya kini 75 tahun, sudah sendirian. Para pegendang handal di zamannya satu-satu sudah ditelan kubur. Tok Udin adalah “the last maestro”.
Upacara pembukaan yang semula khidmad, tiba-tiba menggemuruh, ketika Tok Udin menabuh gendang dengan memamerkan ‘virtuoso’nya yang mempesona, diikuti dengan tabuhan duabelas gendang oleh rombongan Komunitas Ronggeng Deli. Disela-sela acara, Sulistyo Tirtokusumo, dan Wiwiek Sipala, dua seniman dan pakar yang menjadi anggota Tim Pemberian Anugerah Budaya oleh Kementerian Kebudayaan RI, menyatakan akan mengusulkan Tok Udin Gendang sebagai Maestro Seni Gendang Melayu untuk mendapatkan Anugerah Budaya tahun 2018 akan datang.
Festival Tari dengan tema “Membaca Sejarah” yang berlangsung selama dua hari itu, dengan menyajikan pameran puluhan foto bersejarah tentang Sauti dan Tari Serampang Duabelas itu, diikuti oleh 30 pasang penari dari berbagai daerah, antara lain dari Tanjung Balai, Asahan, Batubara, Deli Serdang, Labuhan Batu Utara, Langkat, Siak (Riau), Lingga (Kepri), Jogjakarta, dan sejumlah Sanggar dari Jakarta.
Dewan Juri terdiri dari Wa Ode Siti Marwiah Sipala, yang lebih dikenal dengan nama Wiwiek Sipala, penari senior alumnus Graham Dance School, New York, yang belajar menari Melayu dari Tengku Nazli dan Nazaruddin di Jakarta, serta Tengku Sita Saritsa dan Tengku Luckman Sinar di Medan, pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), penerima Anugerah Kebudayaan bidang Pencipta, Pelopor dan Pembaharu (2015) dari Pemerintah RI, didampingi Dilinar Adlin, pengajar pada Program Sendratasik Universitas Negeri Medan, dan Retno Ayumi, anggota Komite Tari Dewan Kesenian Sumatera Utara yang pernah menjadi Raja Tari Serampang Duabelas tiga kali berturut-turut di Medan.
Malam resepsi, yang diramaikan dengan kuliner khas lontong dan soto Medan, menjadi meriah, dihadiri oleh para seniman asal Medan, diantaranya Sori Siregar (sastrawan nasional), Saut Poltak Tambunan (penulis 50 novel, penerima hadiah Rancage tahun 2016), Soultan Saladin (anak Siantar, aktor film peraih beberapa piala Citra), Ibu Roslila Djalal (Ratu Tari Serampang Duabelas pada Sayembara Tari Serampang Duabelas se-Indonesia di Medan tahun 1963), Ibu Menna Purba (90 tahun, sahabat Sauti, penyanyi dan penari Melayu dan Simalungun, murid Taralamsyah Saragih), Ira Gangga (putri penyanyi Melayu legendaris, Emma Gangga), keluarga Rubiah (penyanyi Melayu yang sangat terkenal di Malaysia), Joyce Manik (pecinta budaya tradisi), unsur PW MABMI Jakarta, serta perwakilan Ikatan Keluarga Masyarakat asal Sumut di Jakarta.
Sukmawati Soekarnoputri, hadir mewakili keluarga Bung Karno yang pada tahun 1950-an mencanangkan Tari Serampang Duabelas sebagai tari nasional dan diajarkan di semua sekolah se-Indonesia. Bung Karno pula yang mengirim Sauti dan rombongan penari dan pemusiknya ke berbagai kota di Eropa, dalam rangka diplomasi kebudayaan, mengenalkan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka kepada masyarakat dunia.
Dalam orasi budayanya yang bertajuk “Serampang Duabelas dan Ke-Indonesia-an Kita”, Sukmawati yang dikenal juga sebagai penari, dan tampak bahagia bertemu dengan para penari muda itu, menyatakan: “Serampang Duabelas kaya akan nilai-nilai luhur dan mengandung filosofi yang dalam. Pesan saya, jangan lupa seni tradisi asli. Bagaimanapun, ini harus dilestarikan dan terus dikembangkan!” Ia sangat mengapresiasi anak-anak muda yang bangga mempelajari dan mengikuti Festival Serampang Duabelas yang diselenggarakan Anjungan Sumut. “Saya berharap, pada tahun-tahun akan datang, ada ribuan anak muda yang mengikuti Festival ini!” ujarnya dengan bersemangat, sambil mengenang kedekatan Bung Karno dengan para seniman Melayu pada masa dulu.
Dan yang mengejutkan, sekaligus mengharukan, foto tempo dulu yang semula bagai ‘peta buta’ itu, tanpa sesiapa yang mengenal puluhan sosok berpeci miring dan berkebaya yang berdiri berdampingan dengan Bung Karno itu, tiba-tiba menjadi hidup, menautkan sejarah masa lalu dengan hari ini dengan sangat kuat, ketika Tok Udin Gendang, berseru sesaat tiba di Anjungan dan melihat foto berwarna sepia yang terpampang lebar: “Hah, itu! Saya ada di situ, Pak!” Lalu, ia menunjuk sosoknya yang duduk berjongkok di barisan depan, sosok ketiga disebelah kiri Sauti yang mengenakan teluk belanga satin hitam. “Ini saya!” serunya dengan mata berkaca. Dan mengalirlah kenangan indah, sambil mengenali satu demi satu para sahabatnya dulu, yang kini sudah tiada. Tok Udin adalah mata rantai sejarah!
Festival Tari Serampang Duabelas di Anjungan Sumut itu pun tak pelak menjadi semacam ruang, gerakan budaya, pemicu spirit untuk mengingat yang terlupa, memungut yang tercecer, mendudukkan yang terabai, agar sejarah menjadi utuh dan tidak terputus.
Sebelumnya, ditayangkan pula film dokumentasi berdurasi 16 menit “Bukan Sekedar Catatan Kaki”. Film produksi Anjungan Sumatera Utara TMII tahun 2013 itu, merupakan catatan perjalanan ziarah Tim Ziarah Budaya – Anjungan Sumut TMII ke makam, rumah kediaman, keluarga, dan murid Sauti di Perbaungan. Film singkat itu menyedot emosi penonton, yang terpaku, menyimak rentetan gambar ikhwal kekurangpedulian berbagai pihak tentang ‘kedakhsyatan’ Sauti sebagai koreografer tari Melayu modern.
Para pemenang lomba pada Festival Tari Serampang Duabelas se-Nusantara tahun 2017 tersebut, untuk Kategori Muda-mudi, Terbaik I diraih oleh pasangan Muhammad Arifin Syahputra dan Fath Azmi Ahyana (utusan dari MABMI Langkat), Terbaik II, pasangan Alen Trendi dan Wan Rima Gevita (utusan Dinas Pariwisata Kabupaten Siak), Terbaik III, pasangan Muhammad Najar Siagian dan Fahira Pratiwi (utusan Sanggar Seni Permata, Kabupaten Labuhan Batu Utara), Terbaik IV, pasangan Muhammad Reza Syahriza dan Zahra (utusan Dewan Kesenian Tanjung Balai), Terbaik V, pasangan Azhari dan Dina Maulida Sudirman (utusan Sanggar Hang Tuah, Deli Serdang), dan Terbaik VI, pasangan Muhammad Reza Fahlevi Hanafi dan Hana Lestari (utusan Komunitas Seniman Tradisi Sumatera Utara).
Untuk Kategori Mudi-mudi, Terbaik I diraih oleh pasangan Nurul Huda dan Arnisa Frida Dianta (utusan Sanggar Tari Tamora 88, Deli Serdang), Terbaik II, pasangan Zunailda Aprilly dan Reflianda Esna Ratu (utusan Sanggar Tari Citra Art Studio, Jakarta), Terbaik III, pasangan Camilla Nazira Hudaya dan Camilla Sophia Hudaya (utusan Sanggar Cahaya Permata, Deli Serdang), Terbaik IV, pasangan Estetika Siwabessy dan Gita Sukma Irvi Lestari (utusan Sanggar Seni Matra Etnika), Terbaik V, pasangan Rizka Pramita dan Widia Indriani (utusan sanggar Langkadura, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau).
Terpilih sebagai Raja dan Ratu Tari Serampang Duabelas 2017 adalah Muhammad Arifin Syahputra, dan Fath Azmi Ahyana, utusan MABMI Langkat, Sumatera Utara.
Festival ditutup dengan pergelaran ronggeng Melayu oleh Komunitas Ronggeng Deli, yang terbentuk sejak dua tahun lalu di Anjungan Sumatera Utara TMII atas gagasan etnomusilog Rizaldi Siagian, yang risau terhadap nasib kesenian dan seniman tradisi Melayu yang kian hilang dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Dengan bersemangat, Sukmawati Soekarnoputri, Tok Udin Gendang, Wiwiek Sipala, Dilinar Adlin, dan para senior menari bersama dengan para penari juara, diiringi rentak Tanjung Katung yang hangat.
Pada kesempatan itu, Sukmawati sempat didaulat menjadi salah seorang penasehat Komunitas Ronggeng Deli, bersama Rizaldi Siagian dan Ali Djauhari. “Kita akan kembangkan terus Tari Serampang Duabelas dan kesenian Ronggeng Melayu yang indah ini. Tidak boleh dilupakan!”, ujarnya. Sejarah telah menjelaskan, bahwa Tari Serampang Duabelas adalah anak kandung dari ronggeng Melayu. Lahir dari buah kecerdasan Sauti yang memetik gerak dan bunyi dengan grenek Melayu yang indah dari arena ronggeng Melayu, menyusun dan menggubahnya menjadi tari pergaulan yang mendunia. Dipentaskan pertama kali di tahun 1938. Bahkan sebelum Indonesia merdeka! (diurnanta qelanaputra)