Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Komnas HAM akan menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menandatangani draf perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Komnas HAM menilai perpres tersebut berpotensi adanya pelanggaran HAM.
"Kami berharap presiden tidak menandatangani (draf) perpres tersebut dan mengevaluasi kembali fungsi dan tugas pokok Koopssus. Ini kan sudah lama kami minta tidak melampaui batas, ternyata cuma ganti nama dari Koopssusgab menjadi Koopssus saja," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Jakarta Selatan, Kamis (8/7/2019).
Choirul menilai perpres itu berpotensi akan adanya pelanggaran HAM. Ia mengatakan perpres itu mengatur ruang lingkup terlalu luas meliputi tugas penangkapan, penindakan, dan pemulihan yang dalam perspektif hukum dapat dimaknai sebagai sebagai tindakan intelijen, penyelidikan, penyidikan, bahkan sampai dengan tindakan pemulihan.
Tindakan penangkalan atau pencegahan radikalisme dikhawatirkan dapat melampaui kewenangan dan tugas pokok TNI sendiri serta berpotensi berbenturan dengan instansi lain seperti BNPT.
"Apalagi menggunakan skema teritorial itu nggak pekerjaan militer, di mana-mana di negara di dunia ini negara demokratis, itu bukan pekerjaan militer. Itu kerjaan polisi dan aktor-aktor lain yang memang punya kemampuan untuk menangkal radikalisme. Lebih penting guru daripada TNI dalam konteks pencegahan radikalisme," kata Choirul.
Choirul menilai perpres itu seharusnya mengatur secara rinci di situasi apa misalnya TNI baru dilibatkan dalam penanganan terorisme. Pada draf pasal 9 ayat 2 perpres tersebut, penindakan mengatasi aksi terorisme dilaksanakan dengan menggunakan strategi, taktik, dan teknik militer sesuai dengan doktrin TNI.
Hal itu dinilai berpotensi melanggar HAM karena militer dalam doktrinnya adalah alat perang untuk menghancurkan musuh, bukan penindakan dan dilanjutkan pada proses hukum pengadilan. Sementara kalau kepolisian ada mekanisme praperadilan bila keberatan dengan penangkapan.
"Yang tadi saya bilang kalau kita bikin skala 1-10, 9-10, boleh lah TNI terlibat, tapi ada batasannya dan ada level tindakannya kalau skalanya belum sampai segitu ya nggak boleh ikut," ujarnya.
Selain itu, dalam draf perpres pasal 17 mengatur sumber pendanaan untuk mengatasi aksi terorisme bersumber APBN, APBD, dan sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Poin tersebut dinilai bisa berpotensi pelanggaran yang menyebabkan ketidakprofesionalan TNI.
"Soal postur pendanaan, sejak awal pendanaan TNI itu hanya boleh dilakukan oleh APBN, APBD pun juga nggak boleh. Ya masak ketegangan itu nanti kalau tentara di satu tempat lebih oke di tempat lain nggak oke yang ada perang sendiri nanti tentaranya," ungkapnya.
Dia menilai draf perpres itu bertentangan dengan UU Antiterorisme, UU TNI, dan konstitusi.
"Jadi kami akan menyurati keberatan kami karena ancamannya ancaman keras. Tapi tata kelola demokrasi berdasarkan negara yang punya basic negara hukum ini tabrak. Ditabrak oleh perpres, bertabrakan dengan UU Terorisme, UU pokoknya bertentangan dengan UU TNI sebagai UU pokok yang bertentangan sesuatu yang diatur dengan sesuatu yang sudah diatur di konstitusi. Ini tabrakannya banyak sekali, dan ini mengancam perpres ini mengancam TNI kita menjadi tidak profesional," ujar Choirul.dtc