Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pernyataan Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi dan dipertegas Kadis Pariwisata Sumut, Ria Telaumbanua yang menyatakan Festival Danau Toba (FDT) 2020 tidak akan dilaksanakan karena tidak bermanfaat untuk rakyat menimbulkan pertanyaan besar para praktisi pariwisata, khususnya penyelenggara dan pelaksana acara.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Penyelenggaraan dan Pelaksana Acara (APPARA) Indonesia, Hendra Gunawan Kaban yang dihubungi wartawan berpendapat, hal itu jelas menggambarkan bahwa Pemprov Sumut cq Dispar tidak mampu melakukan inovasi dan terobosan dalam pelaksanaan FDT.
“Ini tentu sedikit memalukan. Di mana-mana even diperlukan bahkan harusnya diperbanyak quantity-nya, bukan malah ditiadakan. Jangan seperti pepatah Melayu; buruk rupa cermin dibelah,” kata Hendra Gunawan Kaban, di Medan, Selasa (13/1/2019).
Menurut Hendra, konsep awal FDT untuk menarik wisatawan domestik dan mancanegara hadir menyaksikan. Tapi sayangnya tidak punya SOP, baik oleh penyelenggara maupun pelaksana acara secara profesional.
Dia pun menilai sepinya wisatawan menghadiri FDT tidak terlepas dari sejumlah hal yang telah melanggar aturan penyelenggaraan acara.
Empat Faktor
Hendra yang juga pemilik industri EO di Medan menyarankan 4 faktor penting utama yang secara krusial tak bisa ditawar agar FDT sukses, yaitu waktu pelaksanaan, venue, target audience dan stakeholder.
Waktu pelaksanaan, Hendra menyarankan harus mempertimbangkan jadwal libur domestik dan manca negara. Ini harus konsisten karena jadwal libur, sekolah kuliah maupun pergantian musim khususnya negara – negara target wisatawan yang punya empat musim tidak berubah signifikan.
“Tapi ini yang selalu dilanggar dengan argumentasi dana APBD harus dilelang melalui tertib admistrasi lain-lain, dan lain lain. Padahal, harusnya administrasi sudah terjadwal baik dan pastinya acara akan berjalan lebih baik,” tegas Hendra.
Tempat pelaksaanaan (venue) menurutnya ada 2 pilihan .Pertama venue tidak usah berganti setiap dilaksanakan. “Promosi lebih mudah karena begitu acara ditutup, panitia sudah bisa langsung sampaikan baik lewat pengisi acara dan seluruh yang terlibat untuk bertemu kembali di acara yang sama tahun berikutnya, secara digital baik sosial media perorangan maupun penyelenggarapun telah dapat di sosialisasikan,” ujarnya.
Pilihan kedua, tempat bisa saja berganti tiap tahun dengan catatan bahwa promosi dilakukan secara ideal, 180 hari sebelum pelaksanaan, atau minimal 90 hari sebelum pelaksanaan, secara komprehensif dan terintegrasi di semua media promosi yang dibutuhkan. “Dan itu hal yang tak bisa ditawar jika ingin optimal,” imbuh Hendra.
Baca Juga: Tahun 2020 Festival Danau Toba Ditiadakan, ini Alasannya
Gubernur Edy Cari Bentuk Kegiatan Lain Gantikan Festival Danau Toba
Mengenai target audiens, Hendra menyarankan listing prioritas target, sehingga tidak acak, harus terarah dan terukur. Sering terjadi yang diundang wisatawan nusantara dan manca negara tapi promosinya hanya di Sumut, itupun sekadarnya.
“Jika memang penyelenggara sebagai pemilik acara (event) ingin meningkatkan kedatangan wisatawan domestik apalagi manca negara maka konsep undangannya tentu harus ditujukan untuk mereka – mereka yang akan hadir, dengan skema prioritas yang terukur dan terintegrasi,” sebutnya.
Adapun aspek stakeholder, menurutnya, tidak kalah penting sebagai bagian terintegrasi agar semua konsep dan implementasi beserta target pengunjung yang diinginkan sesuai dengan harapan dan optimal. Dia berpendapat, keikutsertaan semua stakeholder pariwisata, baik kabupaten terkhusus provinsi.
Kata dia, harus disadari betul bahwa merekalah ujung tombak pelaksanaan, mulai dari tokoh masyarakat, penggiat seni dan budaya, lembaga swadaya masyarakat pariwisata khususnya lagi para parktisi industri pariwisata, dengan kerja sama yang baik dan saling memberi masukan maka apa yang diinginkan dipastikan akan berhasil optimal sesuai harapan.
Hendra juga menggarisbawahi bahwa selama pelaksanaan FDT yang terbilang sukses hanyalah yang pertama, selebihnya alakadarnya. Euforia dan efek domino pada pelaksanaan FDT pertama tidak ditangkap rohnya oleh pemilik even.
“Akhirnya bersifat rutin dan normatif, bahkan mirisnya cenderung hanya seremoni. Yang penting serapan anggaran maksimal. Padahal harapannya atraksi dalam FDT inilah sebagai pemicu bergulirnya roda ekonomi yang lebih kencang dalam kurun waktu pelaksanaan,” tutup Hendra.