Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Lonjakan jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) di daerah harus segera diantisipasi. Sekolah-sekolah dan gedung-gedung pemerintahan yang dekat dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dapat dikonversi menjadi tempat isolasi darurat bagi yang terjangkit virus Corona dengan gejala ringan sampai sedang.
Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Ascobat Gani, menyampaikan tidak semua kasus bisa melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing. Keterbatasan ruangan di rumah yang menjadi kendala utama.
"Saya melihat di desa-desa ada rumah dihuni delapan jiwa lebih, bagaimana bisa isolasi mandiri?,"ujar Ascobat dalam sebuah diskusi virtual yang digelar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Karena itu menurut Ascobat, pemerintah perlu memikirkan alternatif sebuah tempat isolasi bersama. Jakarta menurut Ascobat punya Wisma Atlet Kemayoran sebagai tempat karantina pasien gejala ringan sampai sedang. "Daerah tak punya bangunan seperti itu tapi bisa pakai alternatif gedung sekolah," katanya.
Ascobat menyebut gedung sekolah yang dipakai harus yang dekat dengan Puskesmas. Pemilihan gedung yang berada dekat dengan Puskesmas sebagai pusat isolasi juga bertujuan untuk memudahkan tenaga-tenaga kesehatan memonitor secara berkala kondisi pasien.
Selain gedung sekolah yang saat ini kosong karena diliburkan, dalam keadaan darurat seperti saat ini fasilitas pemerintahan yang berada dekat Puskesmas dapat menjadi alternatif untuk dialihfungsikan.
Konversi sekolah ini menurut Ascobat sangat penting karena ruang-ruang isolasi di rumah-rumah sakit rujukan sangat terbatas. Kebijakan tersebut juga bisa menggerakkan potensi Puskesmas yang selama ini belum dioptimalisasi dengan maksimal dalam menghadapi pagebluk COVID-19.
"Dengan cara ini kita membendung air keruh di hulu, sekarang intervensi kita cenderung di hilir. Kalau hanya mengandalkan rumah sakit saja kita akan habis," ujar doktor lulusan School of Public Hygiene and Public Health, Johns Hopkins University, Amerika Serikat itu.
Lalu dari mana anggaran untuk mengkonversi gedung-gedung itu menjadi ruang isolasi yang sesuai standar Kementerian Kesehatan? Ascobat menyarankan perubahan peruntukan Dana Alokasi Khusus Fisik atau Non Fisik. "Tapi yang sangat potensial adalah menggunakan dana desa," ujarnya.
Selain itu, Puskesmas juga dapat dioptimalkan sebagai garis terdepan untuk melakukan penapisan massal bagi orang-orang yang dicurigai terjangkit. Namun masalahnya tak semua Puskesmas dilengkapi dengan tenaga analis laboratorium.
"Puskesmas bisa jadi eksekutor rapid test, namun lebih dari 40% persen Puskesmas tak punya analis lab," katanya.
Ketimbang menunggu penempatan atau melatih analis laboratorium baru, menurut Ascobat para perawat di Puskesmas dapat dilatih melakukan uji diagnosis cepat.
Deteksi massal ini harus dilakukan agar Puskesmas memiliki peta kawasan positif dan bisa mengambil tindakan.
"Contact tracing Puskesmas harus bekerja sama dengan perangkat desa. Karena perangkat ini yang paling tahu warganya," ujar Ascobat.(dtc)