Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Berbicara tentang musik Batak Toba tidak terlepas dari berbagai aspek. Seperti kita tahu, awalnya, penggunaan musik bagi suku bangsa ini umumnya terkait dengan ritus-ritus yang bersifat spiritual. Ia dipakai dalam upacara-upacara tertentu.
Sebagaimana masyarakat komunal, Batak Toba juga mendasarkan pengalaman empiris dan sipritualitas mereka melalui musik. Itu sebabnya, status sosial pemusik Batak Toba mendapat tempat khusus di masyarakat. Mereka dianggap sosok pandai yang terpilih. Karenanya dalam setiap upacara, harus disediakan tempat istimewa bagi mereka untuk menjalankan tugasnya. Salah tugas mereka adalah memediasi hubungan manusia dengan Debata Mulajadi Nabolon (Sang Pencipta) melalui musik.
Musik dianggap paling efektif untuk mendekatkan diri seseorang dengan Tuhannya. Tentu saja, karena musik adalah media yang paling gampang menyentuh perasaan manusia. Apalagi model dan format nada pada masyarakat tradisional, seperti Batak, cenderung bercirikan perulangan. Dalam musik, konsep demikian sangat memudahkan seseorang untuk trans.
Hal itu dijelaskan oleh maestro musik Batak Toba, Marsius Sitohang kepada medanbsnisdaily.com, Senin (11/9/2017) Menurutnya, sekarang ini musik asli Batak Toba sudah jarang ditampilkan. Biasanya sudah bercampur dengan instrumen lain dari barat.
“Banyak orang bisa main tapi nama-nama alat musik itu pun dia tak tahu. Kalau dibilang gondang Batak Toba itu, harus ada satu set taganing, gong, sarune dan esek. Taganing itu pun punya nama. Ada oloan, ihutan, panggora, dual. Itulah namanya Gondang Sabangunan. Kalau ada sulim, hasapi, terompet dan keyboard, itu namanya uning-uningan. Kalau tanpa keyboard tapi ada sulim dan hasapi, namanya gondang uning-uningan,” jelas dewa seruling ini.
Karena salah pemahaman itu, Marsius mengaku sering berselisih dengan orang yang memintanya main. Mereka minta gondang, padahal maksudnya uning-uningan. “Padahal kita sudah bawa seperangkat musik gondang lengkap dengan para pemainnya,” jelasnya.
Ditanya soal perkembangannya, Marsius mengaku musik Batak Toba kian berkembang. Menurutnya, dengan kehadiran keyboard membuat musik Batak lebih kaya. Meski begitu, hal itu juga membawa dampak negatif. Kalau biasanya instrumen Batak itu dimainkan sedikitnya 5 orang, kini sudah bisa dimainkan 2 orang.
“Dulu biar pun uning-uningan, tetap ada pemain taganingnya. Tapi sekarang sudah pake keyboard. Cukup 2 orang saja pemusik. Yang main keyboard dan sulim. Otomatis bayarannya lebih murah,” jelasnya.
Keadaan itu diakuinya telah merugikan pemusik Batak Toba itu sendiri.
Terabaikan
Sebenarnya masih banyak instrumen musik Batak Toba lain yang belum dieksplorasi secara maksimal. Umumnya yang masuk dalam kategori alat musik tiup, di luar sulim dan sarune (bolon, etek). Antara lain sordam, ole-ole, tulila, talatoit, balobat dan sarune buluh (sarune bambu). Semua alat musik ini terbuat dari bambu.
Begitu juga ole-ole. Ole-ole sendiri adalah alat musik tiup yang terbuat dari satu ruas batang padi. Ujung pangkalnya dipecah sedemikian rupa yang berfungsi sebagai vibrator. Pecahan ini menjadi penggetar udara ketika bersentuhan dengan lidah. Untuk menghasilkan nada yang beragam, pada ole-ole juga dibuat lobang di batang padi tersebut. Kadang pada pangkal ujungnya digulung daun tebu atau daun kelapa sebagai resonatornya, sehingga suara yang dihasilkan lebih keras dan bisa terdengar jauh. Alat musik ini bersifat musiman, yaitu ketika panen tiba.
Hal itu dijelaskan pemusik tradisi Batak Toba, Martogi Sitohang. Batak Toba dan juga Mandailing mengenal alat musik tulila. Terbuat dari bambu pendek dengan dua lubang sisi kiri dan kanan.
Tulila mempunyai lubang penjarian, yakni dua di sebelah kiri dan dua disisi kanan. Untuk lubang tiup berada di tengah. Alat musik biasanya memainkan lagu-lagu yang bersifat melodis dan juga bersifat ritmik. Salah satu fungsinya, tulila dipakai untuk merayu perempuan.
“Iramanya yang majis konon membuat perasaan pendengarnya jadi terbuai. Barangkali itu sebabnya tulila sempat dilarang Belanda karena dianggap membuat gila anak gadis,” katanya.
Alat musik lain yang terbuat dari bambu disebut balobat. Balobat juga dikenal di Karo dan suku Batak lainnya. Sebagai instrumen solo, balobat digunakan sebagai hiburan pribadi ketika sedang mengembalakan ternak di padang rumput atau ketika sedang menjaga padi di sawah atau di ladang. Balobat adalah sebatang bambu yang memilik lubang. Di salah satu ujung pangkalnya, dikerat lubang berbentuk seperti berbentuk segitiga, yang berfungsi sebagai ruang udara (layaknya kepala rekorder).
Demikian juga dengan sarune buluh atau seruling bambu. Masyarakat awam barangkali lebih mengenal sarune (bolon, etek) yang terbuat dari kayu. Padahal ada juga sarune yang terbuat dari bambu dengan format dan struktur yang nyaris sama.
Sayang sekali, alat-alat musik itu tidak kelihatan lagi, bahkan di masyarakat pemiliknya sendiri. .