Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Gorga adalah ragam seni hias masyarakat Batak Toba. Gorga itu dapat berupa seni ukir, pahat maupun lukis. Media tempat gorga itu lazim ditemukan dinding rumah, pustaha laklak, sarkofagus (kubur batu) hombung, salapa/ tempat rokok, abalabal/ peti mati dan sebagainya.
Gorga-gorga itu tidak sekadar bernilai estetis belaka, tetapi juga mengandung arti, nilai dan fungsi tertentu.
Misalnya jenis gorga berupa ukiran berbentuk payudara yang biasa ditemukan di dinding-dinding rumah adat Batak Toba. Simbol payudara itu merupakan perlambang kesuburan manusia. Begitu juga dengan ukiran cicak atau dalam bahasa Batak Toba disebut boraspati ni tano. Boraspati ni tano melambangkan kesuburan tanah.
Tidak hanya mengandung nilai-nilai, gorga juga memiliki fungsi-fungsinya sendiri. Misalnya jenis gorga jorngom, singasinga atau ulu paung. Ketiga gorga yang dipahat ini memiliki fungsi untuk menjaga rumah dan penghuninya dari gangguan hantu jahat. Tidak heran bila ketiganya tampak menyeramkan. Begitu juga dengan relief perahu yang merupakan simbol dari kendaraan roh manusia untuk menuju surga.
Gorga juga banyak yang berbentuk/motif tumbuhan. Jenis yang satu biasanya banyak ditemui di hiasan ulos. Antara lain, gunduk pahu (berbentuk pakis), gorga andorandor (sulur), gorga iraniran, iponipon (berbentuk gigi) hotanghotang (berupa rotan).
Kepala Pusat Dokumentasi dan Kajian Budaya Batak Universitas HKBP Nommensen, Manguji Nababan, kepada medanbisnisdaily.com, Rabu (13/9/2017), menjelaskan, semua gorga itu merupakan kekayaan sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat Batak Toba.
“Orang Batak Toba kaya akan gorga. Karena pada dasarnya hal itu bagian dari peradaban mereka. Karena itu bisa dikatakan gorga adalah semiotika simbol peradaban dan filosofi hidup masyarakat Batak Toba,” kata
Selain bernilai estetis, gorga sarat dengaan pesan spritual-magis dan bermakna filosofis yang menjelaskan profil orang Batak Toba terkait pandangan hidup dan cita-citanya. Gorga terutama pada sebuah rumah juga akan menjelaskan status pemilik rumah itu. Akan berbeda jenis gorga pada raja dengan rakyat kebanyakan. Pada rumah seorang raja, gorga itu bisa berupa yang diukiran dipahat maupun lukis. Sedangkan pada rumah orang biasa, gorga itu lebih kepada gorga yang dilukis.
Menurut penelitian, gorga diperkirakan muncul sebelum Islam dan Kristen, yakni setelah orang Batak mengenal struktur pemerintahan dan konsep raja. Diawali dari triwarna; hitam putih dan merah dan juga goresan yang estetis religius yang merupakan narasi kehidupan orang Batak Toba. Warna yang tiga macam ini disebut tiga bolit.
Sedangkan bahan-bahan untuk gorga ini biasanya kayu lunak, yaitu yang mudah dikorek/dipahat. Biasanya nenek-nenek orang Batak memilih kayu ungil atau ada juga orang menyebutnya kayu ingul.
Kayu ungil ini mempunyai sifat tertentu, yaitu antara lain tahan terhadap sinar matahari langsung, begitu juga terhadap terpaan air hujan, yang berarti tidak cepat rusak/lapuk akibat kena sengatan terik matahari dan terpaan air hujan.
Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk pembuatan bahan-bahan kapal/perahu di Danau Toba. Namun dewasa ini, seni gorga sudah menggunakan medium lain, yakni berbahan campuran semen sebagai bahan dasarnya.
Kurang Diapresiasi
Sekarang ini seni gorga telah diajarkan di kampus-kampus. Terutama di jurusan seni rupa Unimed. Mahasiswa-mahasiswa seni rupa itu banyak yang mempelajari kembali gorga dan menuangkannya dalam berbagai medium. Baik lukis, pahat maupun ukir. Meski terampil dalam mencipta, namun seringkali persoalan pemahaman terhadap gorga masih menjadi kendala.
“Kawan-kawan anak seni rupa di Unimed banyak yang bisa membuat ulu paung, tapi belum tentu mereka tahu arti dan fungsinya,” jelas alumnus seni rupa Unimed, Adi Damanik.
Hal itu membuat kesenian ini tidak utuh dan sering sekadar bentuk saja.
Seni gorga, menurut Adi, sangat disukai oleh mahasiswa. Salah satunya karena ia dianggap trend seni rupa dari Sumatera Utara. Sehingga secara market seni gorga sudah memiliki pasarnya sendiri.
Adi mengaku beberapa kali ia dan teman-temannya diminta untuk menggorga sebuah rumah. Sayangnya apresiasi terhadapnya masih sangat rendah. Terutama dari sisi ekonomi.
“Mungkin itu jugalah yang membuat kawan-kawan seni rupa tidak total menekuni seni gorga itu. Kesannya, mereka sekadar bisa membuat, tetapi tidak terlalu perduli dengan nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya,” jelasnya.