Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kuda Lumping adalah salah satu kesenian masyarakat Jawa. Kuda lumping lahir, tumbuh dan berkembang di lingkaran masyarakat. Tidak seperti beberapa kesenian Jawa lain yang setelah lahir langsung diambil oleh pihak Keraton Mataram (Yogyakarta).
Kesenian yang diambil alih keraton itu bernasib baik dibanding kuda lumping. Panggungnya lebih “berkelas”, yang kemudian berdampak pada ekonomi senimannya. Bahkan beberapa di antaranya menjadi masterpiece kesenian Jawa. Sebut saja kesenian wayang.
Kesenian yang diambil alih oleh pihak Keraton biasanya akan diberi sistem pengetahuan baru, dikembangkan dengan teori atau pengetahuan lain oleh para empu seni keraton, narasi kesenian mereka dicatat, bahkan terkadang tak boleh lagi dipertunjukkan oleh rakyat. Hanya pihak keraton yang boleh menggelar. Dengan begitu statusnya menjadi terangkat. Bersamaan dengan itu kesejahteraan senimannya juga ikut membaik.
Berbeda halnya nasib kuda lumping. Karena berada di pusaran rakyat, kesenian ini bahkan tidak punya historis. Walau begitu, ia tetap bertahan. Ia berkembang secara sporadis di berbagai daerah di Jawa. Tidak heran ia memiliki sejumlah nama. Di Yogyakarta disebut jathilan, sedangkan di Banyumas disebut ebeg. Ada juga yang menyebutnya sebagai jaran kepang atau kuda kepang.
“Narasi tentang kuda lumping itu tidak pernah dituliskan. Ia berkembang secara oral. Dari mulut ke mulut. Narasi lisan itu mempercayai bahwa kuda lumping merupakan tarian yang menggambarkan prajurit perang yang sedang menunggang kuda,” kata akademisi sekaligus seniman Jawa, Yono USU.
Kisah prajurit perang itu mengacu kepada epos Pangeran Diponegoro saat berperang melawan tentara Belanda. Kalah dalam jumlah dan persenjataan, maka untuk memobilisir rakyat agar berani melawan tentara Belanda, dibuatlah tari kuda lumping yang menggambarkan kegagahan rakyat. Itu sebabnya tarian kuda lumping terlihat gagah dan tangkas.
Dijelaskan Yono, eksistensi kuda lumping di Sumatera Utara, salah satunya tidak lepas dari migrasi orang Jawa ke Tanah Deli. Kuda lumping yang berkembang di Sumatera Utara, secara umum mengambil versi ebeg yang berkembang di Banyumas.
Keberadaan orang Jawa Banyumas, yang minoritas di Sumut, menurut Yono, membuat mereka lebih gigih menyebarkan klaim bahwa ebeg adalah kesenian kuda lumping yang paling “asli”. Tak heran jika gending atau lagu-lagu yang mengiring penari saat atraksi pun kebanyakan berasal dari gending atau lagu banyumasan, jarang yang versi mataramanan.
Misalnya laguh Sekar Gadung, Eling-Eling, Ricik-Ricik Banyumasan, Tole-Tole, Waru Doyong, Ana Maning Modele Wong Purbalingga, dan lain-lain.
Mempertahankan Eksistensi
Pada dasarnya kelompok-kelompok kesenian kuda lumping yang ada di Sumatera Utara, beranggotakan orang-orang yang sama. Terutama yang berperan sebagai pemain utama. Seseorang bisa terlibat di lebih dari 3 kelompok. Sehingga bila pun di Sumatera Utara ada sekitar 200-an grup, tapi orangnya sama. Mereka tersebar di Binjai, Langkat, dan Kisaran.
“Di Medan sendiri, setidaknya ada 20 grup kuda lumping,” jelas Yono, yang sudah 30 tahun meneliti kesenian Jawa di Sumatera Utara ini.
Dibanding dengan dari tempat asalnya, menurut Yono, kuda lumping di Sumatera Utara cenderung lebih lemah. Mereka kurang paham dan tidak bisa menerapkan kaidah, aturan, format estetika gaya kuda lumping seperti yang ada di Jawa. Meski begitu, tak membuat atraksi kuda lumping, khususnya di Medan sepi penonton. Masyarakat Jawa Deli tetap antusias. Dalam pandangan Yono, hal itu tidak terlepas dari ikatan emosional sebagai sesama bagian dari kebudayaan Jawa.
Salah satu tantangan yang dihadapi grup kuda lumping di Sumatera Utara adalah kesan klenik yang melekat padanya. Sebagian besar masyarakat menganggap kuda lumping itu berkaitan dengan unsur-unsur magis. Hal itu juga diakui Yono. Menurutny,a penilaian itu sangat wajar. Budaya Jawa memang kental dengan dunia metafisika.
“Trance dalam kuda lumping terjadi saat endang (roh ) masuk ke tubuh penari. Itu juga berhubungan dengan wilayah ekspresi penari kuda lumping. Sebagai manusia, penari merasa belum puas dengan tarian yang mereka bawakan. Mereka butuh suatu ekspresi menari yang lebih dari biasanya. Karena spiritualitas orang Jawa berhubungan dengan kepercayaan terhadap roh leluhur, maka dipanggilah mereka.
Tidak heran bila saat penari dalam keadaan trance atau mendem atau wuru dalam istilah banyumasan, penari mulai melakukan atraksi-atraksi unik. Misalnya mereka makan beling (kaca), dedaunan mentah, daging ayam yang masih hidup, berlagak seperti monyet, ular, dan lain-lain.
Atraksi in trance ini hanya dimainkan oleh pemain yang memiliki ending. Masing-masing pemain memiliki varian endang yang berbeda. Di antaranya endang kethek (monyet), yang mengantarkan pemain pada kondisi in trance meniru perilaku monyet, endang jaran, endang mayit, endang macan, endang wandu, dan lain-lain.