Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Julukan Kota Medan sebagai “Paris van Sumatera” rasanya sudah tak sesuai lagi. Sebaliknya bila kita melihat kondisi terkini Kota Medan, justru kesan kumuh yang terasa. Bahkan tempat-tempat yang dulunya menjadi ikon Kota Medan tak ada bedanya dengan pasar-pasar tradisional.
Misalnya di Kesawan dan sekitarnya. Bangunan-bangunan bersejarah yang merupakan situs budaya di Kota Medan, kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Salah satunya adalah Titi Gantung dan Stasiun Kereta Api. Kedua situs sejarah-budaya ini tidak sekarang malah dijadikan tempat pembuangan sampah. Padahal di masa kolonial, Titi Gantung merupakan tempat yang paling digemari oleh Belanda. Mereka menjadikannya sebagai tempat bersantai.
Pun di era tahun 70-an, Titi Gantung dan Stasiun Kereta Api merupakan tempat yang paling diincar para sineas dan fotografer. Para sutradara film berlomba-lomba menjadikan kedua tempat ini sebagai lokasi film mereka. Tidak heran bila Titi Gantung dan Stasiun Kereta Api juga dikenal sebagai tempat paling romantis yang pernah ada di Kota Medan.
Istilah “Paris van Sumatera” diberikan juga bukan tanpa alasan. Tidak hanya karena sejumlah bangunannya yang berarsitektur Eropa, namun juga karena keragaman masyarakat yang mendiaminya.
Seperti yang dijelaskan sosiolog Usman Pelly, pada tahun 1930-an, orang asing banyak tinggal di Kota Medan. Kantor-kantor besar perkebunan dulu di sini. Ada dari Belgia, China, Amerika Serikat, India, Perancis, Arab dan lainnya. Karenanya Medan dikatakan confederation of ethnic (konfederasi etnik), settlement cluster (pemukiman klaster).
Kota Medan pada masa itu begitu indah. Perekonomiannya juga sangat tinggi. Harga komoditas Tembaku Deli misalnya lima kali lipat dibandingkan dengan tembakau dari Kuba. Begitu hebatnya, sehingga Medan juga sering disebut sebagai daerah dolar.
Keindahan Kota Medan tak bisa dilupakan oleh ekspatariat dari Eropa. Terutama mereka yang berasal dari Perancis. Saat mereka kembali ke negaranya, keindahan itu terus membayangi pikiran mereka.
Untuk melampiskan kerinduannya itu, ekspatariat asal Perancis itu membuat tugu air mancur di depan Menara Eiffel, Paris. Air mancur yang sama, juga dibangun di Medan, di depan kantor pos, untuk menandakan Medan sebagai “Paris van Sumatera”.
Sayangnya, air mancur itu sudah dirobohkan dan diganti dengan air mancur yang sekarang ini. Padahal, air mancur itu adalah duplikat dari yang ada di depan Menara Eiffel dan menjadi titik nol Medan.
Penghancuran Secara Massif
Dalam 15 tahun terakhir, sejumlah bangunan bersejarah itu telah dihancurkan. Antara lain, gedung Mega Eltra di Jalan Brigjen Katamso. Bangunan ini dulunya bernama Lindeteves-Stokvis yang berfungsi sebagai kantor dagang perusahaan Belanda. Namun pada tahun 2002, situs bersejarah itu dihancurkan untuk pembangunan sebuah plaza.
Begitu juga dengan kompleks perkantoran perusahaan perkebunan Sipef atau PT Tolan Tiga di sudut Jalan S Parman dengan Jalan Zainul Arifin. Penghancuran itu terjadi pada 2004 untuk kebutuhan akses jalan condominium yang ada di sana.
Begitupula dengan sebuah bangunan peninggalan Belanda yang berada di depan Hotel Tiara Medan. Bangunan yang dibangun tahun 1912 itu pernah dijadikan sekolah SMP 1. Pada tahun 2002, situs sejarah itu juga dihancurkan.
Nasib yang sama juga dialami terjadi pada Gedung South East Bank di Jalan Pemuda. Termasuk pula Kantor Bupati Deliserdang yang ada di Jalan Katamso juga dihancurkan pada tahun 2004.
Kantor PU Medan di Jalan Listrik juga dihancurkan pada tahun 2004. Situs budaya lain yang turut dihancurkan adalah sembilan rumah panggung di Jalan Timur.
Puluhan bangunan bersejarah di Jalan Kesuma juga turut dihancurkan. Termasuk eks Kantor Badan Kepegawaian Daerah Sumatera Utara di Jalan Suka Mulia yang telah rata dengan tanah.
Begitu pula sebuah bangunan yang eks Bank Modren di Kesawan. Di masa kolonial bangunan itu dijadikan Kantor Perwakilan Stork, perusahaan Belanda yang memproduksi dan menjual mesin-mesin industri perkebunan. Bangunan yang terletak di kawasan Kesawan itu telah dihancurkan.
Penghancuran bangunan-bangunan bersejarah itu terus berlanjut. Pada tahun 2009 villa kembar di Jalan Diponegoro juga dihancurkan. Padahal villa kembar itu merupakan situs sejarah peninggalan Belanda di masa kejayaan Tembakau Deli. Begitu pula dengan Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) di perempatan Jalan Timur dengan Jalan Perintis Kemerdekaan. Termasuk pula Lapangan Merdeka yang telah menjadi milik swasta.
Menurut sejarawan, Ichwan, bangunan ini dibangun pada tahun 1915 yang merupakan kelanjutan bangunan kereta api yang dibangun oleh J. Cremer pada tahun 1883. Bangunan lain yang kondisinya terancam adalah gedung Balaikota Lama Medan yang juga merupakan peninggalan Belanda. Dikatakan terancam karena posisinya kini terhimpit oleh bangunan-bangunan mewah di sekitarnya.