Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengumumkan 33 laporan hasil pemeriksaan (LHP) dengan tujuan tertentu (DTT) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHSP) I-2017. Salah satu yang menjadi tujuan pemeriksaan DTT mengenai kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) tahun 2013-2015.
Melansir IHSP I-2017, Selasa (3/10) hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengelolaan pertambangan mineral pada PTFI belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Pemerintah melalui PP Nomor 45 tahun 2003 yang telah diubah dalam PP Nomor 9 Tahun 2012 telah menetapkan besaran tarif iuran tetap dan royalti tambahan. Akan tetapi BPK menemukan PTFI masih menggunakan tarif yang tercantum dalam KK yang lebih rendah dan tidak disesuaikan dengan tarif baru tersebut.
Atas temuan tersebut ditemukan hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) periode 2009-2015 sebesar US$ 445,96 juta atau setara Rp 5,97 triliun (kurs Rp 13.400).
Lalu BPK juga menemukan bahwa dasar penghitungan pencairan jaminan reklamasi yang dilakukan Kementerian ESDM tidak akurat. Sehingga terdapat kelebihan pencairan jaminan reklamasi yang seharusnya masih ditempatkan pemerintah Indonesia sebesar US$ 1,43 juta atau setara Rp 19,16 miliar.
BPK juga menemukan permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangan-undangan dalam KK PTFI meliputi penerimaan selain denda keterlambatan yang belum dipungut. Biaya concentrate handling yang dikeluarkan PTFI akan mengurangi royalti yang dibayarkan kepada pemerintah.
Pada 2013-2015 terdapat komponen yang tidak tepat dibebankan sebagai biaya concentrate handling sehingga mengakibatkan kekurangan penerimaan royalti oleh pemerintah sebesar US$ 181,45 ribu atau setara Rp 2,43 miliar. Jika ditotal kerugian negara mencapai Rp 5,99 triliun.
BPK juga menemukan permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian, seperti hilangnya potensi peningkatan pendapatan negara melalui dividen PTFI, dan hilangnya kesempatan pemerintah untuk berperan dalam pengambilan keputusan strategis manajemen PTFI, karena sampai tahun 2015 kepemilikan Pemerintah Indonesia atas saham PTFI belum optimal, dan proses divestasi saham berlarut-larut.
Kemudian pengelolaan limbah tailing PTFI dipandang belum sesuai dengan peraturan lingkungan yang berlaku di Indonesia dan pembuangan limbahnya telah mencapai kawasan laut, sehingga mengakibatkan perubahan ekosistem serta menimbulkan kerusakan dan kerugian lingkungan. (dtf)