Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta - Masalah daya beli lemah mewarnai menjadi
perbincangan hangat hingga menjelang akhir 2017. Lantas, apakah
masalah daya beli lemah akan berlanjut di 2018?
Menurut Head of Intermediary Business Schroders Indonesia, Teddy
Oetomo, biasanya daya beli akan menguat selama satu tahun jelang tahun
politik alias pemilu. Seperti diketahui 2019 adalah tahun politik
karena ada pilpres dan pemilihan legislatif.
Selain itu, di 2018 nanti sejumlah daerah menggelar pilkada. Contohnya
Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
"Kalau ada kampanye, uangnya yang berputar cukup besar. Menurut data
perekonomian juga terpusat di 3 region itu, totalnya 36%. Lalu 40%
populasi Indonesia juga ada di 3 wilayah itu. Jadi konsumsi rumah
tangga akan naik tahun depan," tutur Teddy di Gedung Bursa Efek
Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (13/10/2017).
Selain itu, kata Teddy, biasanya satu tahun sebelum musim politik
belanja pemerintah juga akan meningkat dari biasanya. Apalagi
pemerintah saat ini masih menggenjot proyek-proyek strategis
infrastruktur.
"Berdasarkan data satu tahun sebelum musim pemilu seperti 2013, 2008,
2003 naik. Karena ya biasa, sebelum keluar, pemerintah keluarkan duit
bangun ini itu, berharap bisa terpilih lagi," tambahnya.
Menurut data Schroders pertumbuhan daya beli masyarakat pada 2003,
2008 dan 2013 rata-rata mencapai 5,5%. Lalu untuk pertumbuhan belanja
pemerintah juga meningkat pada 2003 sebesar 12,5%, 2008 sebesar 17,5%
dan 2013 sebesar 5%.
Namun pertumbuhan ekonomi di satu tahun sebelum pemilu cenderun
menurun, seperti pada 2008 yang hanya tumbuh 6,1% lebih rendah dari
tahun sebelumnya 6,3%. Begitu juga pada 2013 yang tumbuh 5,72% lebih
rendah dibanding 2012 sebesar 6,23%.
Tapi, kata Teddy, faktor faktor pemicunya adalah penurunan nilai
ekspor. BPS mencatat nilai ekspor pada Desember 2008 minus 9,57%.
Sementara pada Desember 2013 meningkat 6,56%, namun pada awal 2013
sempat minus.
"Kalau ekspor biasanya justu menguat setelah pemilu. Kalau daya beli
dan belanja pemerintah turun setelah pemilu," tukasnya.
Schroders memprediksi pertumbuhan ekonomi 2018 sama dengan prediksi
Bank Indonesia (BI) dalam rentang 5,1-5,5%. "Kami memprediksi sama
dengan BI," tambahnya.
Untuk tahun depan, menurut Teddy, pihaknya itu akan fokus berinvestasi
pada instrumen pasar modal (equity). Sebab instrumen pasar modal
searah dengan pertumbuhan ekonomi.
"Kita selalu berusaha lebih baik dari indeks. Kalau ekonomi membaik
itu equity lebih baik dari bond (obligasi). Kalau ekonomi turun
sebaliknya. Karena tahun depan kami yakin membaik maka kemungkinan
equity akan lebih baik dari bond," tandasnya.dtc