Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. KPK berkoordinasi dengan penyidik POM TNI untuk persiapan menghadapi praperadilan kasus Helikopter Agusta Westland 101 (AW-101). Gugatan ini diajukan oleh Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh.
KPK Sebelumnya menyebut konsekuensi gugatan ini dapat berpengaruh pada penyidikan yang juga sedang diproses oleh POM TNI.
"KPK telah melalukan koordinasi dengan para penyidik POM TNI pada hari Kamis (26/10) untuk menghadapi praperadilan yang diajukan oleh tersangka IKS (Irfan Kurnia Saleh)," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Jumat (27/10/2017).
"Karena salah satu aspek yang dipersoalkan adalah mekanisme koneksitas dalam penanganan perkara yang diduga melibatkan sipil dan militer," lanjutnya.
Salah satu yang menjadi materi tuntutan adalah soal peradilan koneksitas, seperti yang diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHAP. Sementara KPK menegaskan dari awal baik KPK maupun TNI menggunakan landasan Pasal 42 Undang-undang KPK. Febri juga mengingatkan kasus ini mendapat atensi khusus dari Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
"Padahal mengacu pada keterangan Panglima TNI saat melakukan konferensi pers di KPK, kerja sama dalam penanganan perkara dugaan korupsi pengadaan Heli AW-101 ini merupakan salah satu concern dari Panglima TNI sebagai bagian dari komitmen pemberantasan korupsi di TNI," ujarnya.
Dalam koordinasi sebelumnya antara KPK-TNI saat pengumuman tersangka kasus ini, Jumat (26/5), Gatot sempat berkata ada perintah Presiden Joko Widodo langsung untuk mengusutnya hingga tuntas. Sebagai tindak lanjut, Gatot menyatakan akan membentuk tim investigasi dengan mengeluarkan surat perintah Panglima TNI pada 29 Desember 2016.
Koordinasi antara KPK-TNI juga disebut Febri akan kembali dilaksanakan pekan depan. Koordinasi itu untuk menghadapi sidang praperadilan yang rencananya digelar Jumat (3/11).
Dalam kasus tersebut, KPK bekerja sama dengan POM TNI. Ada lima tersangka yang ditetapkan POM TNI, tiga orang di antaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; dan Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.
Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS, berperan sebagai WLP; dan Marsda SB, sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara.
Sementara itu, KPK menetapkan Irfan sebagai tersangka pertama dari swasta pada Jumat (16/6). Irfan diduga meneken kontrak dengan Augusta Westland, perusahaan joint ventureWestland Helicopters di Inggris dengan Agusta di Italia, yang nilainya Rp 514 miliar.
Namun, dalam kontrak pengadaan helikopter dengan TNI AU, nilai kontraknya Rp 738 miliar sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar. (dtc)