Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Peristiwa Bandung Lautan Api pada 1946 punya cerita tersendiri bagi Mbah Patmo (92), yang kala itu merupakan seorang perawat. Kemerdekaan Republik Indonesia sudah diproklamasikan di Jakarta pada 1945, tetapi belum ada setahun pihak kolonial seakan tak terima.
Usia Mbah Patmo masih 20-an saat itu, ketika dia jadi juru rawat. Instruksi langsung dari Kolonel Abdul Haris Nasution membikin semangatnya berkobar untuk mengabdi kepada bangsa yang baru saja merasakan kemerdekaan.
"Berdasarkan instruksi Pangdam Siliwangi Kolonel Nasution, penduduk Bandung Selatan harus ke luar kota, dalam jangka waktu 24 jam pada 23 Maret 1946," tutur Mbah Patmo, yang bernama lengkap Kasiah Supatmo, sembari menunggu dimulainya upacara Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (10/11/2017).
Wajah Mbah Patmo berseri-seri ketika menceritakan masa lalunya. Peristiwa di Bandung itu adalah yang berulang kali dia ceritakan saat berbincang.
Saat itu tentara Sekutu kembali ke Indonesia setelah mengetahui kekalahan Jepang. Pada 23 Maret 1946, militer Inggris meminta Bandung dikosongkan. Ini adalah ultimatum kedua setelah yang pertama pada akhir 1945.
Kolonel Nasution, yang menjadi Panglima Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI), lalu membuat siasat. Setelah warga dievakuasi, Bandung Selatan dijadikan 'lautan api' agar tak diduduki oleh tentara Sekutu pada 24 Maret 1946.
Berbekal instruksi dari Kolonel Nasution, Patmo muda mengawal pergerakan warga Bandung Selatan ke berbagai penjuru karena kota itu harus dikosongkan. Mulai Ujungberung, Garut, Tasikmalaya, bahkan sampai ke Yogyakarta dan Surabaya.
Mbah Patmo sampai tak bisa menerjemahkan dengan kata-kata bagaimana suasana saat itu. Tetapi dia dengan seluruh daya upaya bersedia melayani warga yang butuh perawatan.
"Kami mengantar warga ke mana-mana. Waktu itu dokternya namanya dokter Kartubi. Beliau juga dimakamkan di sini, di Kalibata," kata Mbah Patmo.
Mbah Patmo tak bisa mengingat dengan terperinci penyakit apa saja yang menjangkit warga selama pelarian mereka. Perjalanan dilakukan bertahap secara gerilya.
"Namanya gerilya, dulu disebutnya long march dari Bandung ke Jogja, dari Jogja ke Jatim," ungkap Mbah Patmo.
Pada 1948, Mbah Patmo bertugas di Yogyakarta. Setelah itu dia ujian untuk lulus sekolah perawatan di Jakarta.
Kini Mbah Patmo tinggal bersama putranya yang bernama Priyo. Pernikahannya dengan Peltu Patmo Hadisiswoyo (almarhum) membuahkan enam anak. (dtc)