Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta - Setya Novanto kembali absen dari panggilan KPK dengan berbagai alasan melalui surat. Alasan-alasan Novanto itu disebut sebagai pembangkangan hukum.
"Sikap Ketua DPR Setya Novanto yang menolak hadir memenuhi panggilan KPK sebagai saksi maupun tersangka kasus korupsi megaproyek e-KTP adalah praktik pembangkangan hukum yang jika terus dibiarkan akan dapat merusak kepercayaan publik kepada sistem hukum dan demokrasi secara keseluruhan," ucap Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono lewat siaran pers, Rabu (15/11/2017).
Ada tiga poin yang dijadikan alasan Novanto menolak menggenapi panggilan KPK. Alasan pemeriksaan Novanto harus dengan seizin presiden, hak imunitas anggota DPR, hingga yang terbaru menunggu putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review atau uji materi UU KPK yang diajukan kuasa hukum Novanto sendiri disebutnya mengada-ada dan tidak berlandaskan hukum.
"Besar kemungkinan alasan tersebut sengaja dibuat dengan maksud mengulur-ulur waktu guna menghambat pengungkapan kasus megakorupsi ini," kata Bayu.
Dia mengatakan, sesuai dengan Pasal 245 ayat 3 UU MD3, izin presiden tidak diperlukan untuk pemeriksaan anggota DPR baik sebagai saksi atau tersangka tindak pidana khusus, seperti korupsi.
"Dengan demikian, tidak tepat sikap anggota DPR yang menolak hadir dipanggil aparat penegak hukum, seperti KPK, untuk diperiksa sebagai saksi atau tersangka karena alasan belum ada izin tertulis presiden karena memang izin demikian tidak diperlukan," tutur Bayu.
Sementara soal hak imunitas, dengan landasan Pasal 224 UU MD3, hak imunitas anggota DPR dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, imunitas atas pernyataan atau pendapat yang disampaikan, dan yang kedua imunitas atas sikap dan tindakan yang dilakukan.
Kedua kelompok ini pun harus berkaitan dengan tugas dan wewenang anggota DPR, bukan berkaitan dengan kepentingan pribadi. Dengan demikian, menurut Bayu, tindakan Novanto sudah berada di luar hak dan kewenangan konstitusional anggota DPR.
"Apalagi jika pemeriksaan tersebut karena dugaan melakukan tindak pidana, semisal tindak pidana khusus, seperti korupsi, tentu tidak ada alasan bagi anggota DPR untuk berlindung di balik hak imunitas untuk menghindarkan diri dari proses penegakan hukum," katanya.
Terakhir, soal penolakan Novanto hadir dari seluruh panggilan KPK karena sedang menunggu proses uji materi UU KPK di MK sangat tidak tepat. Sebab, lanjut Bayu, harus dipisahkan antara proses penegakan hukum di KPK dengan proses pengujian UU di MK. Pasal 58 UU MK menjamin UU yang diuji di MK tetap berlaku sebelum ada putusan bahwa UU yang diuji bertentangan dengan UUD 1945.
"Dengan terbantahkannya secara hukum semua alasan Setya Novanto yang menolak diperiksa oleh KPK, maka sudah waktunya KPK melalui perangkat aturan perundang-undangan yang ada untuk segera melakukan upaya paksa dalam memeriksa Setya Novanto," tegas Bayu.
Upaya ini juga disebutnya sesuai Pasal 112 ayat 2 KUHAP:
Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Tak hanya itu, KPK bahkan bisa mulai menimbang penerapan Pasal 21 UU Tipikor tentang obstruction of justice (perbuatan yang menghalang-halangi proses penegakan hukum). Pasal ini juga sudah diterapkan KPK terhadap anggota Komisi V Markus Nari, yang diduga merintangi penyidikan dan persidangan kasus e-KTP.
"Di mana Pasal 21 mengatur ancaman sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi," tutupnya.
Sementara itu, pengacara Novanto menyebut KPK melanggar konstitusi bila tetap melakukan pemanggilan terhadap Novanto.
"Semuanya sama, tidak bisa dipanggil dalam hal begini. Yang saya uji adalah anggota Dewan memiliki kekebalan hukum. Nah, saya kan ujikan apakah KPK termasuk pengecualian. Kalau memiliki kekebalan hukum, kan berarti siapa pun tidak bisa memanggil anggota Dewan. Ini adalah konstitusi Indonesia. Barang siapa melawan konstitusi, bahwa dia itu diduga melakukan makar atau kudeta terhadap NKRI," ucap Fredrich sebelumnya. dtc