Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Naypyitaw. Organisasi pemantau Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, Amnesty International, menyebut perlakuan otoritas Myanmar terhadap populasi etnis minoritas muslim Rohingya mengarah pada praktik 'apartheid'. Amnesty tengah menyelidiki akar penyebab krisis Rohingya.
Seperti dilansir AFP, Selasa (21/11), laporan Amnesty International yang dirilis pekan ini merinci bagaimana praktik persekusi selama bertahun-tahun telah memicu krisis di Rakhine. Sekitar 620 ribu pengungsi Rohingya kabur ke Bangladesh sejak konflik kembali pecah pada Agustus lalu.
Kajian Amnesty menyebut operasi yang 'disponsori oleh negara' telah membatasi secara virtual seluruh aspek kehidupan warga Rohingya. Menurut Amnesty, warga Rohingya sangat dibatasi sehingga keberadaannya 'mirip seperti ghetto' di negara mayoritas penganut Buddha. Ghettomerupakan sebutan untuk kelompok minoritas yang terkucilkan.
Laporan Amnesty setebal 100 halaman yang didasarkan pada penelitian selama dua tahun itu menyebut, jaringan pengendalian terhadap Rohingya memenuhi standar hukum bagi 'kejahatan kemanusiaan apartheid'. Apartheid merupakan sistem diskriminasi berdasarkan ras, yang banyak terdapat di Afrika Selatan.
"Rakhine State merupakan lokasi kejahatan. Ini merupakan persoalan jauh sebelum operasi kekerasan militer keji selama tiga bulan terakhir. (Otoritas Myanmar) Menjauhkan pria, wanita dan anak-anak Rohingya terpisah dan takluk pada sistem apartheid yang tidak manusiawi," sebut Direktur Penelitian Senior Amnesty International, Anna Neistat.
Dasar kebencian terhadap Rohingya yang menyebar luas berasal dari aturan hukum kewarganegaraan tahun 1982. Aturan yang diberlakukan oleh junta militer Myanmar itu, secara efektif menjadikan ratusan ribu warga Rohingya tak memiliki status kewarganegaraan.
Amnesty juga menyebut 'kampanye secara sengaja' dikobarkan untuk menghapus hak-hak warga Rohingya di Myanmar. Oleh mayoritas warga Myanmar, Rohingya dijuluki sebagai 'Bengali' atau imigran ilegal dari Bangladesh.
Jauh sebelum eksodus besar-besaran selama 3 bulan terakhir, mayoritas warga Rohingya terusir keluar dari Rakhine usai terjadi konflik sektarian antara komunitas warga Buddha dan muslim tahun 2012. Mereka yang bertahan di Rakhine hidup terkucilkan dan dibatasi oleh kawat berduri dan pos pemeriksaan, yang oleh Amnesty disebut bagaikan 'penjara terbuka'.
Warga Rohingya tidak bisa bebas bepergian, harus memiliki izin khusus dan terancam ditangkap, dianiaya serta dilecehkan di pos-pos pemeriksaan. Rohingya juga tidak memiliki akses pada layanan kesehatan, anak-anak Rohingya tidak bisa bersekolah dan banyak masjid disegel.
"Memulihkan hak dan status legal Rohingya dan memperbaiki aturan kewarganegaraan yang diskriminatif diperlukan segera. Rohingya yang melarikan diri dari persekusi di Mayanmar tidak bisa diminta untuk kembali ke sistem apartheid," tandas Neistat dalam pernyataannya. (dtc)