Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Komisi III DPR menunda uji kepatutan dan kelayakan calon hakim konstitusi dengan kandidat Arief Hidayat yang kini merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Gerindra menyatakan menolak Arief melanjutkan ke periode dua.
"Kita nolak lah, kita pengin ada yang baru. Jangan Pak Arief terus, siapalah," ujar Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa saat dihubungi, Senin (27/11).
Desmond punya alasan mengapa F-Gerindra menolak Arief yang masa jabatannya akan berakhir April 2018 mendatang. Menurut Gerindra, kerja Arief monoton saja selama menjabat ketua MK.
"Yang penting bagi kami di Gerindra adalah wajah baru bikin sejarah baru. Kalau Pak Arief ditetapkan, begini-begini aja begitu kan. Jadi nuansa baru, jangan mempermainkan orang," kata Desmond.
Desmond juga menuding Arief sering melakukan lobi kepada fraksi-fraksi DPR. Tujuannya adalah agar dia terpilih kembali sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua.
"Pak Arief gencar juga lobi-lobi gitu loh. Lobi-lobi dengan alasan dia ingin diperpanjang karena mendekati partai-partai dengan argumentatif kalau dia nggak terpilih, nanti yang gantiin dia Saldi Isra. Saldi Isra itu dianggap pro-KPK," paparnya.
Hakim konstitusi Arief Hidayat, akan berakhir masa jabatannya untuk periode pertama pada April 2018 mendatang. Indonesia Corruption Watch (ICW), memiliki catatan bagi Arief jelang masa akhirnya sebagai hakim konstitusi.
"Sejak Arief Hidayat menjabat sebagai Ketua, Koalisi Selamatkan MK sekurangnya mencatat 5 putusan MK yang berpotensi mengancam pemberantasan korupsi," terang Koordinator Bidang Hukum ICW, Emerson Yuntho, dalam keterangannya, Senin (27/11).
Catatan pertama ICW adalah soal perluasan objek praperadilan. Kedua, mantan narapidana dapat mengikuti Pilkada. Ketiga, larangan jaksa mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. Keempat, mantan terpidana korupsi dapat mengikuti Pilkada di Aceh. Kelima, penghapusan pidana permufakatan jahat dalam perkara korupsi.
ICW juga menilai, fungsi pengawasan internal MK di era Arief juga buruk. Hal ini ditandai oleh OTT KPK pada tahun 2017 yang menangkap hakim konstitusi Patrialis Akbar karena menerima suap oleh pihak yang terkait dengan permohonan uji materi UU di MK.
Arief pernah dijatuhi hukuman etik terkait skandal memo untuk kerabatnya di Kejaksaan. Dia juga terbukti memberikan katebelece, atau selembar kertas yang ditulisnya pada 16 April 2015. Nota itu ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan yang saat itu dijabat Widyo Pramono.
ICW juga meminta kepada DPR untuk melakukan proses fit and proper test secara terbuka. Selain itu, proses fit and proper harus melibatkan pihak eksternal.
"Keberadaan calon tunggal hakim MK yang akan dipilih Komisi Hukum DPR memunculkan kecurigaan adanya kongkalikong antara calon dengan DPR. Padahal sebelumnya pada tahun 2014 , proses dilakukan secara terbuka, melibatkan tim pakar atau tim panel dan calonnya lebih dari dari satu orang," tuturnya.(dtc)