Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Kabupaten Bandung. Sejumlah petani dari Desa Sarongge Cianjur atau mantan perambah hutan di Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, mengajak petani asal Kertasari untuk berhenti menanam sayur di kawasan hutan lindung. Para petani sayuran itu meninggalkan hutan pada 2008 karena sadar atas dampak bencana alam akibat alih fungsi lahan.
Kertasari merupakan daerah penghasil sayuran di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Daerah ini berada di hulu Sungai Citarum. Alif fungsi lahan yang awalnya hutan lindung menjadi perkebunan di Kertasari ini dianggap memicu banjir di area hilir Kabupaten Bandung.
Desa Sarongge sebagai penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Petani Sarongge memang sempat merusak hutan. Namun kini mereka berhasil konservasi hutan di kawasan Gunung Gede Pangrango yang masuk wilayah Cianjur. Kisah sukses petani hutan Sarongge itu diungkapkan di hadapan Pangdam III Siliwangi Mayjen Doni Monardo, Bupati Bandung Dadang M Naser, pimpinan SKPD di Jawa Barat dan puluhan petani dari Kecamatan Kertasari.
"Kami tanam lagi hutan dengan pohon-pohon endemik, puspa, rasamala, saninten dan jenis pohon lainnya," ujar Toska Santoso, salah satu penggagas konservasi hutan di Gunung Gede Pangrango, saat menyampaikan kisahnya di Lapang Lonsum Kertasari, Kabupaten Bandung, Minggu (3/12/2017).
Konservasi hutan di Gunung Gede Pangrango itu melalui program reforestasi atau menanam pohon di lahan hutan yang sebelumnya ditumbuhi sayur. Caranya dengan adopsi pohon.
"Adopsi pohon itu ialah kami mengajak orang kota yang mendapat risiko kebanjiran dan mereka harus mau berkorban menanam pohon di Gunung Gede Pangrango. Mereka bayar 100 ribu rupiah dan sekarang ada 25 ribu pohon besar yang hidup di Kampung Sarongge," tutur Toska.
Selepas berhasil meninggalkan lahan pertaniannya, mereka mendapat bimbingan untuk alih profesi. "Kami berdiskusi dengan petani agar mau turun dengan meninggalkan kebun tanpa menghilangkan sumber perekonomiannya," ucap Tiska.
Tiska menjelaskan di Sarongge menerapkan konsep leuweung hejo rakyat ngejo (hutan hijau rakyat makan). Pihaknya belum dapat meninggalkan hutan sebelum sumber perekonomiannya dikembalikan.
Tidak sendiri, Tiska memaparkan kisah suksesnya tersebut bersama mantan petani dan perambah hutan asal Sarongge lainnya. Salah satunya Entin Kartani. Usai meninggalkan profesi lamanya, Entin mendirikan usaha rumahan dengan membuat sabun sereh.
"Mari rawat hutan karena hutan adalah paru-paru dunia," kata Entin.
Selain Entin, pemaparan serupa dibagikan Mamat. Berkat bimbingan berbagai pihak yang peduli terhadap lingkungan, kini Mamat memiliki 2.000 kelinci hasil beternak.
"Jangan takut tidak makan, jangan takut miskin (karena meninggalkan hutan)," ujar Mamat menegaskan. (dtc)