Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Di hadapan Andi Mappetahang (AM) Fatwa, pelaku pembajakan pesawat Woyla, Garuda, di Bangkok pada 1981 itu menyesali aksinya. Si teroris bernama Achmad Yani, yang harus menjalani hukuman di LP Cipinang. Setelah bertemu Fatwa, yang juga menghidup penjara tersebut, pikiran Islam radikal Achmad melunak.
Kisah deradikalisasi di penjara ini masih diingat oleh Dian Islamiyati, putri almarhum AM Fatwa. Dia sering menemani Fatwa berbincang dengan Achmad semasa dipenjara di Cipinang. Keduanya memperbincangkan berbagai hal, dari soal kehidupan sampai agama.
"Di penjara saat itu salah satu kesulitannya adalah mencari teman berbicara. Makanya ketika mereka bertemu lalu saling bercerita. Pendirian ayah membuat Achmad Yani melunak soal Islam radikal," ucap Dian ketika berbincang dengan detikcom, Jumat, 15 Desember 2017.
Komunikasi keduanya cukup intim. Achmad adalah satu-satunya pelaku pembajakan Woyla yang masih bujang. Fatwa pun mencarikan istri untuknya.
Dian di masa itu masih kuliah di Bandung, ia juga sering terlibat obrolan. Achmad pernah mengirimkan surat untuk Dian. Isinya puitis sekali mengenai bau tanah dan hujan di kawasan Mekarsari, Bandung, tempat dia indekos.
"Aku masih ingat bau tanah saat hujan di Mekarsari, Bandung. Seperti itu isi suratnya, puitis banget," kenang Dian.
Ia pun menceritakan soal surat ini kepada bapaknya. AM Fatwa pun tertawa mendapat cerita itu. Menurutnya, perkembangan pemikiran Achmad cukup baik. Bujang itu mulai menanggalkan sisi Islam radikal.
Tapi Dian mewanti-wanti bapaknya. Ia tak ingin dijodohkan dengan Achmad. Dian tahu tabiat bapaknya yang suka jadi mak comblang.
"Ayah itu suka menjodoh-jodohkan, mak comblang. Dia yang mengupayakan pernikahan Achmad Yani dengan istrinya sekarang Yuli. Mereka menikah di penjara dan punya anak, tapi saya sudah kehilangan kontak sekarang," jelasnya.
Tak hanya Achmad, pelaku pembajakan pesawat Woyla yang lain juga bertemu Fatwa. Beberapa di antaranya masih mempertahankan ideologi radikalnya.
Pernah suatu ketika, rekan aktivis HAM dan kelompok agama lain menjenguk Fatwa dan membawakan kue. Fatwa selalu membagi-bagikan kepada narapidana lain. Namun, ketika diterima oleh narapidana dari kelompok Islam radikal, kue itu dibanting hingga berserakan, mereka tak mau menerima.
"Kami hanya tertawa cekikikan, memang salah kuenya apa kok dibanting. Itu kan rezeki dari Tuhan," ungkap Dian. Walau mendapat perlakuan kasar seperti itu, Fatwa tetap berhubungan baik. Konsistensinya untuk melakukan pendekatan tetap dilakukannya.
Dian menganggap bapaknya sangat Pancasilais dan mau menerima perbedaan. Ia masuk penjara karena melawan rezim Orde Baru, bukan Pancasila.
Mantan Ketua MK Jimly Ashidiqie memiliki kenangan sama. Fatwa, kata dia, terlibat gerakan keagamaan pada 1980-an, namun untuk membela korban rezim otoriter. Pikirannya soal demokrasi dan Pancasila sangat konsisten.
Fatwa ikut menandatangani 'Petisi 50' dan menjadi sekretaris kelompok itu meski usianya paling muda. Petisi inilah salah satunya yang kemudian membuat dia menjadi incaran penguasa dan harus dipenjara. Namun, setelah keluar dari penjara, Fatwa tetap konsisten dengan pemikirannya soal demokrasi dan Islam.
"Ia sering mengeluhkan aksi-aksi atas nama agama belakangan. Menurutnya, gerakan Islam harus memberi solusi masalah," jelas Jimly.
AM Fatwa sendiri mengecap pahitnya semasa Orde Lama dan Orde Baru. Ia tercatat mendekam selama 9 tahun di penjara dari 1984-1993.Namun, semasa reformasi, ia turut menggawangi perubahan politik dan menjadi salah satu pendiri Partai Amanat Rakyat hingga menjadi Wakil Ketua DPR pada 2004-2009. Saat mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit MMC, Kamis (14/12/2017), Fatwa masih menjabat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 2014-2019, mewakili DKI Jakarta. (dtc)