Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal delik pidana bagi LGBT di KUHP. Polri menilai hubungan LGBT rawan penyakit karena tak sesuai kodrat.
"Dari segi logikanya kan gitu, orang yang berhubungan dengan tidak aman, tidak sesuai dengan kodratnya itu pasti rawan penyakit," kata Setyo di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (15/12/2017).
Setyo mengatakan perlu atau tidaknya penegakan hukum terhadap kaum homoseksual tergantung perkembangan situasi. Namun Setyo berpendapat hubungan LGBT menular dan menimbulkan penyakit.
Dia lalu menjelaskan gambaran situasi saat ini dengan contoh kasus konten BDSM (Bondage and Discipline, Sadism and Masochism) yang pernah diungkap aparat Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri beberapa waktu lalu.
"Kita lihat situasinya, tapi yang jelas kemarin kita lihat sendiri BDSM, BDSM itu menular, artinya menimbulkan penyakit," ujar Setyo.
Setyo kemudian menjelaskan Polri melihat fenomena LGBT dari sisi keamanan. Jika ada tindak pidana dalam hubungan tersebut, maka polisi akan bertindak sesuai dengan fungsi penegakan hukum.
"Saya sependapat kalau Polri lebih kepada profesional, melakukan penegakan hukum. Jadi bukan menyasar kepada individu. Kita melihat ada nggak satu kasus atau satu kejadian itu ada tindak pidana. Kalau nggak ada tindak pidananya, kita nggak bisa berkomentar," terang dia.
Sementara keputusan apakah LGBT layak atau tidak dimasukkan ke dalam kategori perbuatan melanggar hukum, Polri menyerahkan masalahnya kepada pembuat kebijakan.
"Oleh sebab itu kita melihat bahwa dari segi keamanannya saja. Kalau masalah boleh atau tidaknya diproses (hukum), itu nanti urusannya si pembuat hukum," jelas Setyo.
Setyo menambahkan keberadaan LGBT menimbulkan beberapa dampak yang perlu diwaspadai. "Tapi kita melihat dampaknya bagi generasi, dampak pada keluarga itu yang perlu diwaspadai," tandas Setyo.
MK menolak mengadili gugatan soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). MK menyatakan perumusan delik LGBT dalam hukum pidana Indonesia masuk wewenang DPR-Presiden.
Dalam pertimbangannya, majelis menganggap kewenangan menambah unsur pidana baru dalam suatu undang-undang bukanlah kewenangan MK, melainkan kewenangan presiden dan DPR. (dtc)