Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Bahasa Melayu merupakan dasar dari Bahasa Indonesia. Disebabkan wilayah linguistik penuturnya yang luas, membuat bahasa ini mudah terterima. Tidak hanya di Indonesia, Bahasa Melayu juga digunakan negara lain yang masih satu rumpun Melayunesia. Namun sebagaimana sifat bahasa itu sendiri, Bahasa Indonesia juga terus mengalami dinamisasi.
Sejalan dengan waktu, Bahasa Indonesia terus menyerap berbagai bahasa lainnya. Antara lain, Inggris, Arab, China, Latin, Belanda, Jepang, Portugis dan sebagainya. Bahasa Melayu sebagai bahasa induk tidak lagi mendominasi. Sejalan dengan itu sejumlah “istilah” yang berakar dari Bahasa Melayu mengalami pergeseran. Pergeseran yang membuat arti awal dan makna di dalamnya jadi tergerus.
Misalnya saja istilah “Sri Panggung” yang mengalami pergeseran menjadi “biduan” atau “penyanyi keyboard”. Bendanya sama, tetapi arti dan makna yang ada di balik kedua kata itu jauh berbeda. “Sri Panggung” tidak sekadar penghibur di atas panggung. Ia adalah tokoh utama di atas panggung. “Sri Panggung” juga bermakna “bintang panggung”.
Julukan “Sri” mengandung nilai penghormatan, kebesaran, keagungan dan kemartabatan. Nilai-nilai itu memberinya predikat lebih dari sekadar penghibur. Makanya orang-orang dulu sangat menghormati “Sri Panggung”. Ia tidak boleh diperlakukan semena-mena. Baik oleh penyelenggara maupun penonton. Tetapi kini istilah “Sri Panggung” itu kemudian mengalami pergeseran menjadi “biduan” atau “penyanyi keyboard”. Pergeseran itu membuat arti dan makna yang ada sebelumnya mengalami pendangkalan.
Hal itu dikemukakan salah seorang pemangku budaya Melayu, Tengku Zainuddin, kepada medanbisnisdaily.com, di Medan, Jumat (5/1/2018). Tengku yang aktif di pergerakan Boemi Poetra ini menambahkan contoh lainnya.
Contoh lain adalah kata “maklumat” yang bergeser menjadi “pengumuman”. Dalam “maklumat” terdapat sebuah pengharapan untuk memaklumi isi pesan, atau lebih kepada upaya agar si penerima pesan dapat menerima, sedangkan pada pengumuman , hal itu tidak kelihatan. Walaupun maksud dan tujuannya (isi) sama, namun nilai yang ada di balik kedua kata itu tidak sama.
Bahasa akan hilang dan berubah makna sebagaimana ilmu semantik. Inilah yang terjadi pada bahasa ibu di negeri ini. Tidak hanya Bahasa Melayu tetapi juga bahasa ibu lainnya.
“Agar hal tersebut dapat terjaga, maka bahasa tersebut harus dipergunakan. Peran Informasi yang bersifat publik, apakah itu teknologi modern atau dilakukan secara tradisional sangat penting,” lanjutnya.
Tengku menambahkan, para pemangku bahasa, seperti penyair, novelis , kolumnis , pewarta, pujangga , pembawa acara bahkan pelawak memegang peran penting. Begitu pula dengan para tokoh dan pejabat publik, akhirnya.
Selain mengalami pergeseran, yang lebih ironis banyak bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah. Dalam laporan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2016 lalu, disebutkan ada 139 bahasa daerah yang sekarang ini berada di ambang kepunahan. Sedikitnya 14 bahasa daerah bahkan telah hilang, yakni bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Serua, Te'un, Palumata, Loun, Moksela, Naka'ela, dan Nila. (Maluku Tengah), Ternateno dan Ibu. (Maluku Utara), Saponi dan Mapia. (Papua).
Padahal, Indonesia memiliki kurang lebih 700 bahasa daerah yang tersebar di nusantara. Ironisnya, dari jumlah itu, hanya 13 bahasa daerah yang penuturnya di atas satu juta jiwa.