Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Samosir. Konon menurut cerita, bukit yang terlihat sangat sederhana ini, pernah disinggahi oleh Sisingamangaraja XII. Bukit ini dikenal dengan nama Panggung oleh masyarakat sekitar hingga saat ini.
Bukit yang diakui sakral ini berada di antara Dusun I dan Dusun II, Desa Pardugul, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Tidak jauh dari jalan raya Simanindo, hanya 50 meter di atasnya, dan dapat dilihat langsung dari jalan raya ketika melintas.
Berdasarkan cerita warga sekitar, bukit ini sudah berusia kurang lebih 700 tahun, dan dulunya merupakan bukit pengadilan, tempat musyawarah raja dan masyarakat sekitar kenegerian Buhit. Juga disebut, di Panggung ini, Sisingamangaraja XII pernah manortor (tarian tradisional Batak Toba).
"Ceritanya, sebelum menjadi bagian dari beberapa desa, yakni Desa Pardugul, Parlondut, Panampangan, Sitoluhuta, Sianting-anting, hingga ke Salaon, dulunya semua satu kenegerian, yaitu Negeri Buhit. Di bukit pengadilan inilah diadakan rapat oleh raja dan masyarakat, untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam sebuah persoalan," tutur Hasahatan Sitanggang (50), generasi XII.
Oleh karena itulah, sambung Hasahatan Sitanggang, bukit ini dinamai Panggung Negeri Buhit, tempat bersumpah, dan mengadili seseorang bila ada permasalahan.
"Ada batu tepat di tengah bukit. Batu itu merupakan tempat seseorang mengucapkan sumpah, bahwa seseorang itu tidak bersalah. Cerita yang saya ingat sampai saat ini, orang yang melanggar atau mengucap sumpah yang tidak benar, akan meninggalkan dunia," papar Hasahatan.
Lebih lanjut, dia menceritakan, Sisingamangaraja XII pernah manortor di bukit ini bersama raja dan masyarakat negeri Buhit. Di bukit inilah dilakukan ritual memohon hujan turun dari langit, bila musim kemarau tiba dengan menggunakan pakaian khas Batak Toba.
Cerita itu juga didukung oleh Polha Sitanggang (78) yang juga warga Desa Pardugul. Dia mengatakan, sebenarnya zaman dulu, tidak sembarang orang boleh menginjakkan kaki di atas Bukit Panggung itu.
"Tidak sembarang menginjak kaki di sana. Bukit itu sakral, tempat manortor memohon hujan turun dari langit, tempat musyawarah raja dan masyarakat untuk memutuskan sebuah persoalan/perkara dan mengadili seseorang dari sebuah kesalahan," kata Polha.
Uniknya, sejak Panggung ini ada, tidak pernah ditumbuhi oleh pohon, juga rumput-rumput besar. Hanya ditumbuhi rumput gajah biasa dan rumput benggala.
Namun seiring berkembangnya zaman, sejarah dan kesakralan Panggung itu mulai terlupakan. Generasi sekarang, tidak begitu perduli lagi akan kebenaran cerita itu, dan Panggung itu tidak lagi dianggap sakral.
Dalam kesempatan rapat musrenbang Desa Pardugul, Panggung ini pernah diusulkan untuk dipugar, dilestarikan keberadaannya, dan ke depan menjadi salah satu objek wisata sejarah di Desa Pardugul.