Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Jubir Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menilai keputusan DPR memasukkan kembali pasal penghinaan presiden dalam RKUHP menandakan adanya krisis konstitusi di Indonesia. Apalagi, MK sudah pernah menolak mengabulkan pasal ini.
"Itu kalau dilihat dari putusan MK terdahulu kan ada dua putusan terkait dengan pengujian pasal 134, 136 dan pasal 137 KUHP. Kalau dilihat putusan pertimbangan itu sudah jelas memasukkan kembali norma yang serupa dengan itu serupa yang dibatalkan MK itu. Itu tentu bertentangan dengan keputusan MK," ujar Fajar di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (15/2).
Fajar menilai memasukkan kembali pasal itu dalam KUHP hanya akan menyalahi prinsip Indonesia sebagai negara demokrasi. Menurutnya, lebih baik DPR menindak lanjuti keputusan MK dengan mengikuti putusan MK terdahulu.
"Karena ini sudah tidak relevan dengan negara Indonesia yang republik dan demokrasi. Kalau MK sudah memberikan penafsiran, memberi mandat konstitusionalnya itu yang seharusnya diikuti. Sudah lah, sudah ada penafsiran dari MK sebagai soul of intrepreter of the constitution, sebagai penafsir akhir," ujar Fajar.
Selain itu, Fajar juga menilai dimasukkan kembali pasal itu menunjukkan adanya bentuk ketidakpercayaan terhadap MK sebagai palu sistem ketatanegaraan di Indonesia. MK dinilai gagal dalam memuat putusan yang konstitusional.
"Itu yang jadi concern MK mengapa didirikan di republik ini, untuk menata sistem ketatanegaraan. kalau yang terjadi itu kemudian ada putusan MK tidak dilaksanakan yang sudah dinyatakan batal dan dibangkitkan lagi ini akan jadi krisis konstitusi. Dimunculkan, dibatalkan diuji, dimunculkan lagi ini akan jadi krisis konstitusi, terus seperti itu ini tidak akan efektif," tutur Fajar. (dtc)