Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - London. Organisasi pemantau HAM, Amnesty International, menyebut krisis kemanusiaan di Myanmar dan laporan pembantaian Rohingya merupakan konsekuensi dari keberadaan masyarakat yang didorong untuk membenci.
Seperti dilansir Reuters, Kamis (22/2), hal itu disampaikan Amnesty International dalam laporan tahunannya yang menyebut 'retorika penuh kebencian' dari para pemimpin membuat wajar praktik diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Laporan itu didasarkan analisis di 159 negara, termasuk Indonesia. Laporan Amnesty International itu menyoroti kurangnya kepemimpinan global dalam penegakan HAM.
"Kita melihat bahwa konsekuensi utama dari masyarakat yang didorong untuk membenci, budaya menyalahkan orang lain dan takut pada minoritas terpampang dalam kampanye militer mengerikan dari pembersihan etnis terhadap warga Rohingya di Myanmar," sebut Sekjen Amnesty International, Salil Shetty.
Pekan lalu, Amerika Serikat (AS) mendorong Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk menuntut militer Myanmar bertanggung jawab atas praktik kekerasan, yang disebut PBB mengarah pada pembersihan etnis terhadap Rohingya.
Nyaris 690 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi di Bangladesh, sejak militer Myanmar melancarkan operasi pada akhir Agustus 2017. Sementara itu lebih dari 6.500 warga Rohingya lainnya saat ini terjebak di zona tak bertuan antara Myanmar dan Bangladesh.
Ditegaskan oleh Amnesty International, komunitas internasional gagal secara tegas menanggapi 'kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dari Myanmar hingga Irak, Sudan Selatan, Suriah dan Yaman'.
Laporan Amnesty International menyebut bahwa negara-negara seperti AS, Rusia dan China tidak membela kebebasan sipil, namun malah 'tanpa perasaan merusak hak asasi jutaan orang'.
Presiden AS Donald Trump dianggap mengambil langkah mundur dalam isu HAM yang memberikan preseden berbahaya. Shetty menyebut kebijakan Trump melarang warga dari beberapa negara mayoritas muslim untuk masuk ke AS, merupakan langkah yang 'jelas-jelas penuh kebencian'.
Dalam laporannya, Amnesty International menyebut kebebasan berbicara akan menjadi isu penting bagi penegakan HAM.
Sejumlah staf Amnesty International ditangkap di Turki pada tahun 2017. Para jurnalis dan aktivis juga ditangkap di Mesir dan China. Dua wartawan Reuters di Myanmar ditangkap saat menyelidiki pembunuhan Rohingya.
"Pada 2018, kita tidak bisa meremehkan bahwa kita akan dengan bebas berkumpul bersama dalam unjuk rasa atau mengkritik pemerintahan kita. Faktanya, berbicara terang-terangan menjadi semakin berbahaya," ujar Shetty dalam laporan tahunan Amnesty International ini. (dtc)