Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Polri menyatakan hoax penyerangan terhadap ulama bemotif politik untuk memecah belah persatuan bangsa. Pengamat komunikasi politik mengamini isu ini terkait dengan Pilkada dan Pilpres.
"Kalau disinggung mengenai pilkada dan pilpres saya sependapat karena ini tahun politik. Maka tidak bisa tidak dalam konteks komunikasi politik," kata Pakar Komunikasi Politik, Effendi Ghazali di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (5/3).
Effendi kemudian menyinggung tiga isu yang biasa digulirkan. Di antaranya soal investasi China, PKI, hingga ulama.
"Biasanya investasi China, kemudian apa kerugian bangsa dan ketidakadilan ekonomi dan lain-lain. Kedua isu kelompok-kelompok yang dianggap dekat dan ruang gerak terhadap organ tertentu seperti PKI dan lain-lain," urainya.
"Ketiga siapa yang dekat dengan kelompok ulama. Mengkriminalisasi ulama bahkan menyerang. Ketidakadilan ekonomi ada banyak faktanya, bisa dikaitkan G-20," imbuh Effendi.
Dia berpendapat soal isu PKI dan ulama lebih seksi, lantaran lebih mudah digoreng dan sulit dicari faktanya.
"Tapi bagian kedua dan ketiga ini siapa yang bergerak konten terlarang dan siapa yang lebih dekat dengan ulama lebih terbuka dieksplorasi karena fakta lebih tidak ada," jelasnya.
Effendi juga menyoroti dari 45 isu penyerangan terhadap ulama di media sosial, hanya ada tiga yang benar-benar terjadi.
"Dari 45 ternyata faktanya cuma 3, jadi ini adalah bagian dari itu. Perang cyber dikaitkan Pilkada dan Pilpres," sambungnya.
Effendi menduga ada tokoh politik di balik isu hoax yang meresahkan ini. Menurutnya banyak yang bisa mengambil keuntungan dari menyebarnya berita bohong tersebut.
"Saya setuju ada ketegasan. Kita memandang ada pemimpin atau elite politik yang tidak jelas posisinya. Secara normatif mendukung penyebaran hoax ini, tapi siapa tahu dengan pernyataan keras mengutuk siapa tahu dapat untungnya," ujar Effendi.
Dia juga menyoroti soal penggunaan identitas agama dalam kelompok penyebar hoax Muslim Cyber Army (MCA) tersebut. Dia khawatir kasus hoax di Indonesia ini dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Suriah.
"Ketiga, siapa di belakangnya masih ditelusuri. Menjadi menarik, pernyataan dengan gunakan nama tertentu apalagi MCA ini sudah mengarah kepada lepas dari kelompok atau agama apapun ada pernyataan terang-terangan. Walaupun di sisi lain kita bisa mengatakan kalau tujuannya intelijen. Justru pakai nama itu sangat mencolok," urainya.
"Kita menunggu betul Satgas Nusantara untuk menelusuri siapa yang ada di atasnya tanpa ragu. Kalau ketemu siapa di atasnya kita khawatir terhadap kalau orang banding-bandingkan Suriah, ada keterlibatan asing," sambungnya.
Menurutnya sistem dan cara provokasi kelompok penyebar hoax di Indonesia mengarah ke agama mirip dengan yang terjadi di Suriah. Dia pun berpesan agar masyarakat tidak mudah terpancing dan melakukan verifikasi jika mendapat kabar yang meresahkan.
"Jangan terpancing pada identitasnya, kejar hoaxnya lebih dahulu karena bisa dilakukan siapa saja. Karena kami sepenuhnya percaya tidak ada hoax yang baik, karena itu perlu dikejar betul sampai ujungnya dan hati-hati jangan terperangkap nama," imbaunya.
Effendi berharap masyarakat cerdas dan tidak mudah terprovokasi dengan label agama yang menempel pada kelompok Muslim Cyber Army. Dia pun berharap polisi bisa adil menindak para pelaku yang berusaha memecah belah bangsa melalui hoax, apapun identitasnya.
"Kalau nama ini dikedepankan dengan nama ini kita dapat terpecah-belah belum sampai PR besar siapa di belakangnya. Kita berharap kepolisian kita selalu adil, kelompok manapun dari agama mana pun bisa dihadirkan seperti ini juga," harap Effendi. (dtc)