Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. PBNU, Komnas HAM dan sejumlah LSM berharap Presiden Joko Widodo mengabulkan grasi yang diajukan dua orang petani Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin, terpidana kasus tukar guling lahan.
Dukungan ini diberikan dengan menandatangani surat pernyataan dukungan grasi yang akan diteruskan ke Jokowi melalui Kementerian Hukum dan HAM. Mereka yang meneken dukungan pemberian grasi yakni PBNU, Komnas HAM, YLBHI, LBH Semarang, Walhi Jateng dan jaringan Gusdurian.
"Kami memberikan dukungan terhadap permohonan grasi Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin untuk dikabulkan oleh Presiden Republik Indonesia, " kata Ketua PBNU Imam Aziz dalam jumpa pers di gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Senin (5/3/2018)
Imam Aziz menilai hukuman penjara 8 tahun dan denda Rp 10 miliar yang dijatuhkan hakim kepada Nur Aziz yang juga tokoh NU dan Sutrisno adalah sanksi hukum yang tidak masuk akal. Pengadilan menurutnya seharusnya menilai objektif kasus tanah yang disengketakan meski sudah bertahun-tahun digarap keduanya.
"PBNU dalam hal ini sepakat bahwa kasus yang dialami KH Nur Aziz dan Sutrisno Rusmin ini harus segera mendapat solusi karena kami mencium adanya keadilan yang tidak masuk akal atas petani yang telah mengarap tanah selama bertahun-tahun ditelantarkan kemudian dihukum dari Pengadilan Tingkat I sampai ke Mahkamah Agung (MA) dengan hukuman 8 tahun dan denda Rp 10 miliar, ini tidak masuk akal jumlahnya, " papar Imam Aziz.
Dia berharap Presiden Jokowi bisa memberikan keadilan dalam upaya hukum yang diajukan Nur Aziz dan Sutrisno. Pengajuan grasi menurutnya hak konstitusi yang bisa dilakukan.
"Kami benar-benar berharap Bapak Presiden dapat memberikan perhatian atas kasus yang menimba KH Nur Aziz dan Sutrisno ini, " ujarnya.
Sementara itu Ketua YLBHI Siti Rahma Mary mengatakan kasus yang dialami Nur Aziz dan Sutrisno merupakan bentuk kriminalisasi terhadap kaum petani.
Menurutnya, MA salah alamat menjatuhkan hukuman pidana karena keduanya adalah petani. Keduanya bukan pembalak hutan liar yang sengaja merusak lahan garapan yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
"Ini adalah bentuk kriminalisasi bagi kaum petani, ada beberapa fakta yang harus diperhatikan. Bahwa masyarakat itu sudah mengarap lahan itu sejak puluhan tahun, dan itu diatas tanah terlantar dan berdasarkan UU Pokok Agraria, tanah yang ditelantarkan oleh pemegang haknya itu bisa dicabut dibatalkan haknya. Artinya bisa dimohon oleh masyarakat yang mengarap lahan tersebut," papar Siti Rahma.
Siti menjelaskan, warga tidak pernah dilibatkan saat penetapan lahan garapan. Selain itu dalam putusan MK No. 95/PUU-XII/2014 menjelaskan soal posisi warga yang hidup turun menurun dan menggarap lahan di kawasan hutan tidak bisa dipidana.
Selain itu disebut juga Keputusan MK Nomor 45 Tahun 2011 yang menyebutkan proses penetapan kawasan hutan harus melibatkan masyarakat di kawasan hutan.
"Proses penetapan hutan itu sendiri terdapat empat proses yaitu penunjukkan kawasan hutan, proses penata batasan, proses pemetaan dan penetapan. dari keempat proses ini. masyarakat tidak ada dilibatkan," ujar Siti.
Nur Aziz divonis hukuman selama 8 tahun dan denda Rp 10 miliar bersama dua petani, Sutrisno Rusmin (64) dan Mujiyono (40). Mereka menjadi terpidana terkait tukar guling lahan PT Semen Indonesia dengan pihak Perhutani di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. (dtc)