Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Cambridge Analytica adalah perusahaan analisis data yang berperan dalam pemenangan Donald Trump, Presiden Kenya, hingga, diduga, perkara Brexit. Namun rekanan perusahaan Cambridge Analytica punya catatan kegagalan di Indonesia.
Dilansir The Guardian, Selasa (13/3/2018), Cambridge Analytica didanai oleh konglomerat Robert Mercer, pendukung utama Donald Trump.
Cambridge Analytica punya perusahaan yang berafiliasi dengannya, yakni Strategic Communication Laboratories (SCL) Group. SCL menyebut dirinya sebagai agen manajemen kampanye global, didirikan oleh sosok bernama Nigel Oakes.
Apa yang dilakukan Oakes?
Media asal Inggris, Independent, menulis artikel berjudul 'Si Mulut Manis Alumni Eton College Gagal Bikin Citra Pemimpin Indonesia Cemerlang' pada 5 Agustus 2000. Di situ dijelaskan sepak terjang Oakes di Jakarta yang sempat berusaha menyelamatkan citra Presiden ke-4 RI: Abdurrahman Wahid.
Kantor pusat Behavioural Dynamics menjadi markas SCL yang digawangi Oakes. Kantor Behavioural Dynamics menjadi satu dari sekian tempat ajaib yang tersembunyi di Jakarta kala itu.
Di kantor itu, para staf-staf Indonesia memanggil Oakes dengan sebutan Mr Bond, karena mirip agen rahasia fiktif asal Inggris James Bond. Kantornya bikin melongo untuk ukuran orang saat itu.
Bahkan orang yang pernah bekerja di situ masih bersaksi dengan sikap kagum. Ruangan kantornya luas, diisi 25 komputer, dilengkapi 15 monitor layar datar canggih, dan dua layar TV raksasa. Pria dan wanita seolah merekat ke internet atau menganalisis berita-berita dari dalam dan luar negeri. Di atas para staf ada kaca yang memanjang.
Kadang terlihat dari jauh, orang-orang penting diantar masuk ke dalam ruangan berlapis kaca yang hanya bisa dilihat dari satu arah.
"Ini asyik dan seru, tapi juga sedikit berbahaya karena setiap yang kita lakukan sangat rahasia," kata orang Indonesia yang dulu bekerja di ruang operasional, ruang itu disebut Jakarta International Research Media Center.
Karyawan ini mengaku tak terlalu paham soal tujuan pekerjaannya. Bahkan dia juga tak terlalu mengenali bosnya.
"Kami memanggilnya (Nigel Oakes) sebagai Mr Bond karena dia orang Inggris, dan karena dia misterius," ujarnya.
Ada situs powerbase.info yang memuat keterangan tentang Oakes. Situs ini juga diulas media The Guardian dan The Observer dan dinilai memuat keterangan meragukan terkait Oakes. Namun situs ini menyajikan keterangan soal sepak terjak Oakes di Indonesia.
Nigel Oakes membantu mengatur citra Gus Dur yang sedang tak populer pada tahun 2000. Tugasnya adalah memonitor dan mengevaluasi pemberitaan media tentang Gus Dur. Pemberitaan soal Gus Dur dinilai tak efektif sejak munculnya isu separatisme dan kekerasan etnis.
Gus Dur, atau pihak Gus Dur, disebut mempekerjakan Nigel Oakes sebagai konsultan politik dengan dana US$ 2 juta untuk memperbaiki citra. Namun Oakes meninggalkan Indonesia dan menutup lapak di Jakarta setelah dua bulan bekerja untuk berkampanye di media. Dia dibayar tunai US$ 300 ribu oleh orang dalam Presiden.
Agensi Oakes di Jakarta memonitor media lokal dan internasional, membuat tayangan televisi yang menekankan kerukunan antarumat beragama dan antaretnis, membikin kegiatan atas nama jurnalis independen, mengadakan seminar etika dan independensi jurnalistik, namun tanpa sepengetahuan peserta bahwa acara ini didanai pihak Istana Kepresidenan.
Praktis, dia bekerja untuk Gus Dur pada Juni hingga Agustus tahun 2000. Sepak terjang Oakes di Indonesia terendus dan membuat malu pihak Gus Dur.
Adalah The Wall Street Journal yang mengendus keberadaannya di Indonesia. Berita berjudul 'Indonesia's Wahid Hires Consultant to Help Boost His Tarnished Image' terbit pada 2 Agustus 2000. Tak lama kemudian, yakni 4 Agustus 2000, terbit tulisan 'Wahid's Image Consultant Shuts Down Controversial Media Monitoring Center'.
Dilansir Independent yang mewawancarai diplomat, Oakes sebenarnya sudah pernah mencoba peruntungan di Indonesia sebelum era Habibie. Dia tak sukses menawarkan jasanya ke Presiden BJ Habibie, kemudian sempat mendirikan kantor di Mandarin Hotel Jakarta. Kemudian Oakes dikenalkan kepada putri Gus Dur, yakni Yenny Wahid.
Salah seorang sumber Sekretariat Kepresidenan yang diwawancarai kala itu mengatakan tak terlalu paham kenapa pihak Gus Dur menyewa jasa Oakes, bisa jadi Gus Dur sendiri tak tahu soal ini.
"Saya enggak yakin apakah beliau tahu soal ini. Ini keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Mereka butuh beliau agar tetap di jabatannya," kata sumber dari Sekretariat Kepresidenan itu.
Kantor Behaveoural Dynamics, SCL, atau ruangan operasional di Jakarta itu tutup. Oakes mengatakan kepada media Sunday Times soal alasan penutupan usahanya di Jakarta. "Alasan di balik penutupan ini adalah organisasi Kehumasan (PR) tak ingin tampil dalam pemberitaan. Anda tak ingin dikenal lebih ketimbang klien yang Anda tangani," kata Oakes.
23 Juli, MPR memakzulkan Gus Dur dan menggantinya dengan Megawati Soekarnoputri.
Dikonfirmasi mengenai hal ini, Kepala Biro Protokol Istana di Era Gus Dur, Wahyu Muryadi menyangkalnya.
"Memang pasti banyak orang yang menawarkan jasa kepada presiden. Konsultan, pelobi, segala macem. Tapi setahuku, soal ini akan terbentur sendiri dengan kenyataan saat itu," ujar Wahyu.
Kenyataan pertama, sambung Wahyu, adalah sosok Gus Dur yang tidak mementingkan pencitraan. Polesan citra menurutnya tidak diperlukan.
"Kedua, duitnya nggak ono. Kan konsultan asing itu perlu duit banyak. Ini nggak ada uangnya," tutur Wahyu. (dtc)