Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Nusantara Indonesia mempunyai peradaban yang sangat kaya. Selain tatanan dan nilai-nilai, kekayaan itu juga dari sisi perspektif (sudut pandang) masyarakatnya.
Salah satunya pandangan tentang transgender yang beberapa waktu lalu sempat heboh sebagai respon masyarakat terhadap draft RUU Lesbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) yang hingga kini masih dalam pembahasan.
Nyatanya pada sebagian masyarakat budaya di Indonesia, sosok transgender ada yang sangat dihormati. Salah satunya masyarakat suku Bugis, Sulawesi Selatan dan Batak Toba, Sumatera Utara.
Pada masyarakat Bugis, dikenal sekelompok masyarakat "transgender" yang disebut Calabai dan Calalai. Calabai terlahir dengan kelamin laki-laki, namun tabiatnya seperti perempuan. Sebaliknya Calalai lahir sebagai perempuan tetapi bersifat laki-laki.
Calabai dan Calalai dianggap sebagai peletak adat dan tradisi suku Bugis. Mereka termasuk golongan Bissu, orang suci. Mereka dipercaya menjadi penghubung antara alam manusia dan alam dewata.
"Bagi sebagian suku di Indonesia, kaum transgender ada yang sangat dihormati. Misalnya suku Bugis menghormati Calabai," kata pemerhati sejarah dan budaya, Saut Situmorang kepada medanbisnisdaily.com, belum lama ini.
Saut membantah pendapat antropolog dari USU, Zulfikfli Lubis kepada medanbisnisdaily.com, yang menyebut kaum "transgender" sebagai kelompok masyarakat anomali..
Pemerhati Budaya Batak dari Komunitas Spritual Batak, Reinhard Limbong kepada medanbisnisdaily.com, Selasa (29/5/218) menjelaskan, dalam budaya Batak Toba juga dikenal sosok transgender yang bernama Nan Tinjo.
"Kalau di Batak Toba ada Nan Tinjo. Dia tidak laki-laki juga tidak perempuan. Kepercayaan religius kuno masyarakat Batak Toba meyakini Nan Tinjo adalah sosok gaib yang di dalam dirinya memiliki dua sifat sekaligus. Sifat laki-laki dan perempuan. Nan Tinjo dipercaya sebagai sosok yang menjaga keseimbangan alam orang Batak," jelas Reinhard.
Reinhard menduga, mungkin karena fungsinya sebagai penyeimbang itulah Nan Tinjo diasosiasikan sebagai pemilik dua sifat gender sekaligus. Dia ini penguasa air (danau) dan juga daratan.
"Boleh jadi sebagai laki-laki dia menguasai tanah dan sebagai perempuan dia menguasai air," akhir Reinhard.