Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - KPU berinisiatif membuat peraturan yang melarang caleg eks koruptor nyaleg. Tapi, inisiatif itu mendapat banyak hambatan, salah satunya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan eks koruptor nyaleg. Apa alasan MK?
Hal itu tertuang dalam putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 sebagaimana dikutip detikcom, Selasa (5/6/2018). Putusan itu diketok atas permohonan Jumanto dan Fathor Rasyid yang memberikan kuasa kepada Yusril Ihza Mahendra dkk.
Jumanto-Fator menggugat UU Pemilu Pasal 7 huruf g dan h UU Nomor 8 Tahun 2015. Pasal 7 huruf g berbunyi:
Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
Pasal 7 huruf h berbunyi,
Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Lalu apa kata MK? MK membolehkan eks narapidana nyaleg dengan syarat.
"Sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana," kata MK memberikan syarat eks koruptor untuk nyaleg.
Vonis ini diputus pada 9 Juli 2015. Duduk sebagai majelis yaitu Anwar Usman, Patrialis Akbar, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan M.P Sitompul.
"Seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan demikian, seseorang mantan narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan hukuman lagi seperti yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015," papar MK.
Selain itu, pembukaan UUD 1945 antara lain menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pembukaan UUD 1945 tersebut tidaklah membedakan bangsa Indonesia yang mana dan tentunya termasuk melindungi hak mantan narapidana. Salah satu dari ciri negara demokratis yang berdasarkan hukum dan negara hukum yang demokratis adalah mengakui, menjunjung tinggi, melindungi, memajukan, menegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia
Apabila dikaitkan dengan lembaga pemasyarakatan, dari perspektif sosiologis dan filosofis penggantian penjara kepada pemasyarakatan dimaksudkan bahwa pemidanaan selain untuk penjeraan juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Secara filosofis dan sosiologis sistem pemasyarakatan memandang narapidana sebagai subjek hukum yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan dan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana.
Pemidanaan adalah suatu upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, mengembalikan menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moral, keamanan dan ketertiban dan dapat aktif berperan kembali dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab sebagaimana juga dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009.
"Dengan pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana yang telah diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten) tersebut maka terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan narapidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut," cetus MK.
Putusan di atas tidak bulat. Dari 9 hakim konstitusi, 3 hakim memilih berseberangan. Yaitu Maria Farida Indarti, I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo. Menurut mereka, UUD 1945 harus dan mampu menjadi konstitusi yang hidup (living constitution). Konstitusi bukanlah suatu benda yang hanya ada dalam nama melainkan dalam kenyataan. Ia bukanlah suatu ideal melainkan sesuatu yang senyatanya ada; dan manakala ia tidak dapat dihadirkan menjadi sesuatu yang dapat dilihat, maka konstitusi itu sesungguhnya tidak ada. dtc