Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta
Sejak penandatanganan Head of Agreement (HoA) tanggal 12 Juli 2018 lalu antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero), PT Freeport Indonesia (PTFI), dan Rio Tinto, divestasi Freeport telah menjadi topik hangat yang ramai dibicarakan publik. Berbagai pertanyaan muncul mengenai proses dan outcome dari divestasi ini.
Jika divestasi sudah berhasil dilakukan dan Indonesia melalui Inalum sebagai holding BUMN pertambangan menjadi pemegang saham mayoritas, bukan berarti pula tambang Freeport kemudian bisa dikelola sepenuhnya oleh orang Indonesia.
Ahli pertambangan dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Iwan Munajat, menjelaskan Freeport masih dikelola oleh orang asing karena seluruh peralatan dan sistemnya berasal dari luar negeri, jadi saat ini Indonesia masih belum bisa mengelola Freeport secara mandiri.
"Sistemnya, operasionalnya, maintenance-nya, terus terang itu masih dipegang sama orang luar. Nah, bukannya kita tidak mampu, tapi saat ini belum," ujarnya.
Kekhawatiran akan minimnya penyerapan tenaga kerja Indonesia oleh Freeport juga dibantah oleh Iwan. Ini karena saat ini saja, mayoritas karyawan PTFI adalah orang Indonesia.
"90% pegawai tenaga kerja disana itu udah orang Indonesia. Jadi operatornya saat ini, itu sudah banyak orang Papua."
Baca juga: Limbah dan Listrik Jadi Syarat Freeport Tentukan Lokasi Smelter
Menurut Iwan, tenaga kerja Indonesia mampu mengambil alih pengelolaan Freeport. Hanya saja, dibutuhkan waktu bagi mereka untuk mempelajari sistem pengoperasian dan perawatan alat-alat di Freeport.
Dikatakannya, jika Freeport kelak menjadi milik Indonesia nanti, hal tersebut bisa jadi dorongan agar tenaga ahli Indonesia turut menemani tenaga ahli asing, sehingga kemungkinan pengelolaan Freeport secara mandiri oleh Indonesia dapat diwujudkan.(dtf)