Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ketua DPD Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Sumatra Utara, Martua Siadari, mengatakan, saat ini bangsa Indonesia sedang memasuki fase revolusi mental, yaitu melapaskan pola pikir kerdil agar bagunan kemerdekaan yang berakar pada budaya luhur Bangsa Indonesia tidak di rusak oleh tangan-tangan jahil.
"Mari kita merdekakan bangsa ini dari kekerdilan mental yang telah melahirkan budaya Korupsi, budaya menang sendiri yang menjadi akar radikalisme dan budaya fitnah, baik di dunia nyata maupun di dunia maya," kata Martua dalam keterangan tertulisnya kepada medanbisnis, Kamis (16/8/2018), sebagai refleksi HUT ke-73 Kemerdekaan R.
Martua mengutip pernyataan pendiri bangsa, Soekarno: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
Menurut Martua, kemerdekaan di masa kini jauh berbeda makna dibanding dengan pada masa awal merdeka. Jika dulu kemerdekaan adalah merdeka dari ketakutan dan penjajahan, sekarang kata-kata merdeka bermetamorfosis menjadi bebas sebebasnya dalam menggunakan hak yang kemudian mengerdilkan arti kemerdekaan itu sendiri.
"Semua bebas melakukan apa saja dalam menggunakan hak, meski kita melanggar hak orang lain. Dan kita kadang tidak sadar bahwa kebebasan kita sudah mengarah pada kebebasan desdruktif dengan melanggar kebebasan orang lain. Inilah kemerdekaan kerdil yang hanya melihat kebebasan sebagai kesempatan melakukan apa saja tanpa ada yang melarang hingga melupakan etika, baik etika moral dan etika hukum," paparnya.
"Pada titik ini barulah kesadaran berbangsa kita menyadari kata-kata Bung karno dan kita telah berhadapan dengan saudara kita tidak di medan gerilya atau di meja perundingan. Ternyata kita menghadapi tantangan zaman yang menginginkan negeri ini hancur tapi tidak dengan bom dan senapan, tetapi dengan doktrin kebebasan kerdil yang melampui batas. Kritik dan fitnah seolah memiliki arti yang sama. Selain itu simbol negara yang semula sakral kini tidak lagi dan boleh di pijak seenaknya saja, sehingga kita kehilangan etika moral dan sering menjadi hakim untuk orang lain," lanjut Martua.
Ia khawatir, ke depan, kebebasan kerdil ini tetap tumbuh, maka trust terhadap hukum akan hilang. Semua boleh melakukan tindakan yang menurut kelompoknya benar, barbarisasi masyarakat modern.
"Bdaya menang sendiri telah menggejala, terutama yang menyangkut isu SARA. Akibatnya, kehidupan kebhinekaan kita mulai goyah, Semua yang tidak satu ide dengan kita “salah” meski yang mereka melakukan hal baik.Tuhan sekali pun harus ikut maunya mereka, dan harus menghukum mereka yang berseberangan," terangnya.
Kata Martua, mental kerdil telah memberangus kemerdekaan Bangsa Indonesia yang memiliki pilar kebhinekaan.
"Kita sama-sama telah faham bahwa makna merdeka bagi bangsa Indonesia sedikit berbeda dari makna Kemerdekaan di belahan bumi lain, Bangsa Indonesia telah menetapkan bahwa kemerdekaan kita adalah kemerdekaan yang berakar pada nilai-nilai arif budaya ketimuran yang meski bebas bukan berarti kita kehilangan etika. Kebebasan yang kita bangun dijiwai oleh aturan, baik aturan hukum positif maupun aturan lain, semisal norma agama, adat dan norma kebiasaan semua termaktub dalam sebuah filofofi kemerdekaan Bangsa indonesia, yaitu Bhnineka Tunggal Ika," tutup Martua..