Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Semenjak 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional pada 2009, citra batik sebagai pakaian tradisional asli dari Indonesia makin terangkat. Permintaan pakain batik oleh konsumen pun melonjak seiring imbauan dari pemerintah agar masyarakat, khususnya ASN agar memakai batik setiap hari Kamis dan Jumat.
Namun, tiingginya minat masyarakat memakai batik tidak diiringi pertumbuhan industri lokal yang memproduksi batik, khususnya bermototif daerah Sumatra Utara. Pakain batik yang diperjualbelikan di daerah ini pada umumnya masih didatangkan dari Pulau Jawa.
Mena Bahari, owner konveksi Van Huberta kepada medanbisnisdaily Senin (27/8/2018) mengakui tiap bulannya ia memerlukan bahan batik lebih dari 1.000 yard untuk kebutuhan uniform perusahaan swasta yang dihendelnya.
“Untuk seragam kerja saya tidak menggunakan batik tenunan. Saya order bahan batik print yang dikerjakan secara pabrikan, ngambilnya dari Bandung . Kalau batik tenun gak masuk harganya karena harganya mahal,”akunya.
Tapi meskipun begitu ada beberapa seragam yang diorder secara khusus yang menggunakan batik tenun, tapi saya belum menggunakan batik lokal,”akunya.
Mena memiliki beberapa alasan untuk hal ini, salah satunya kurang tersedianya bahan dari batik lokal itu sendiri. “Pernah saya mau memakai bahan dari Batik Medan Nurcahaya, tapi sering pas order bahan mereka juga habis. Karena stok mereka juga terbatas,”akunya.
Akhirnya mau gak mau dia harus kembali beralih ke usaha batik dari Pekalongan. “Mungkin karena di sana juga usaha batik sudah turun temurun. Mutunya sudah nyata bagusnya,”jelasnya. Selain itu, katanya dari Pekalongan sendiri juga tersedia motif khas ala Sumatera Utara.
Mena menyayangkan kurang responnya pengusaha tenun di Medan untuk memanfaatkan peluang bisnis batik lokal. Masyarakat Medan yang sebelumnya sudah memiliki tenunan dan ulos dari lima etnis Batak, yaitu Tapanuli Utara, Mandailing, Karo, Simalungun, Pakpak Dairi dan Tapanuli Tengah akan memperkaya motif batik.
Tapi sayang kenyataannya perkembangan batik di Sumatera Utara memang masih jalan di tempat. “Mungkin ada berbagai kendala, salah satunya masalah sumber daya manusia-nya. Kita harus akui saat ini kiblat batik itu masih dikuasai oleh masyarakat Jawa. Mereka sudah jelas memiliki mutu yang bagus dan kerapian kerja yang sudah cukup teruji,”ungkapnya.
Mena meyakini suatu saat nanti, Batik Sumatera Utara akan bangkit demi melihat prospek pasar yang begitu besar. “Hal ini sangat dibutuhkan dukungan dari pemerintah daerah,”ucapnya mengakhiri perbincangan.