Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - DPD RI merayakan ulang tahun ke-14 bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila hari ini. Wakil Ketua DPD Hemas GKR, mengungkapkan sebaiknya hari jadi DPD dijadikan untuk melakukan refleksi, menakar sejauh mana lembaga yang anggotanya dipilih oleh rakyat ini sudah menggapai tujuan pendiriannya.
DPD RI merupakan lumbaga yang lair dari hasil pemilu tahun 2004 yang bertujuan untuk menjamin adanya keterwakilan penduduk dengan ruang (daerah) yang tercermin dalam sistem perwakilan dan proses legislasi. Dengan demikian, kehadiran DPD untuk mendorong keadilan dalam kebijakan pembangunan yang merata di seluruh Indonesia, tidak hanya di Pulau Jawa.
"Diharapkan DPD RI dapat memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah. Serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah-daerah secara serasi dan seimbang," kata Hemas dalan keterangan tertulis, Senin (1/10/2019).
"Sebab, sudah dibuktikan dalam sejarah kehidupan kita berbangsa, bahwa kemajemukan historis dan budaya lokal serta keanekaragaman daerah tidak bisa dipaksakan menjadi satu pola yang serba seragam. Keutuhan kita sebagai satu bangsa, justru dimaksudkan dibangun di atas kemajemukan. Kalau kita mengingkari keragaman atau kemajemukan ini, maka akan muncul benih-benih perpecahan, seperti yang sudah terbukti selama tiga dasa warsa terakhir," tambahnya.
Harus diakui, sejak awal berdirinya, kedudukan DPD memang sudah menyimpan masalah. Bukan hanya dalam konstitusi, tapi dalam undang-undang pun, fungsi legislasi DPD selalu dipagari yang membuat Anggota DPD tidak bisa secara maksimal memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerahnya di tingkat pusat. Itulah sebabnya sejak dini DPD sudah berupaya untuk memperjuangkan penguatan fungsinya.
Cara pertama, upaya penguatan kewenangan DPD melalui legislative review (2007) mempertanyakan frasa "ikut membahas" dalam Pasal 22D UUD 1945 yang dalam UU No.22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD justru mengerdilkan fungsi legislasi DPD.
Menurut Hemas, cara lainnya yang pernah dilakukan lembaga DPD memperkuat kewenangannya yakni melaluijudicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan UU No 12 Tahun 2011 Tentang P3. Berkat upaya ini, MK dengan Putusan Nomor No.92/PUU-X/2012tahun 2013, memberikan beberapa buah kewenangan lembaga ini dalam proses legislasi yakni DPD setara dengan DPR dan Pemerintah dalam pengajuan RUU berkaitan dengan daerah.
Kemudian hak dan kewenangan DPD juga sama dengan DPR dan Pemerintah dalam membahas meskipun tidak ikut dalam memberi persetujuan terhadap RUU menjadi UU. Tambahan lainnya dari keputusan MK adalah DPD ikut menyusun prolegnas dan atas RUU APBN, DPR dan Presiden wajib meminta pertimbangan DPD. Akibat keputusan ini pula, muncul pola tripartit, sebab MK meminta agar Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang sebelumnya berasal dari fraksi berubah menjadi DIM lembaga.
Dia melanjutkan, kewenangan DPD RI dipertegas kembali oleh MK melalui Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014 tahun 2015 yang menguji UU No. 17 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 terkait tafsir inkonstitusional bersyarat Pasal 71 huruf c, Pasal 166 ayat (2), Pasal 250 ayat (1), Pasal 277 ayat (1) UU MD3.
Intinya, MK mempertegas keterlibatan wewenang DPD ketika mengajukan dan membahas RUU dengan sebuah naskah akademik terkait otonomi daerah, pembentukan/pemekaran, pengelolaan sumber daya alam, dan kemandirian anggaran DPD.
Cara lainnya, sambung Hemas, dilakukan melalui amandemen konstitusi. Langkah ini diupayakan oleh Anggota DPD RI periode keanggotaan 2004 - 2009. Dengan berbekal 238 orang dukungan anggota MPR, ketika itu DPD menyerahkan usul Perubahan Pasal 22D UUD 1945 kepada Pimpinan MPR.
Namun, dukungan yang begitu memadai pada awalnya, kemudian sejumlah anggota MPR dari beberapa fraksi secara bertahap menarik kembali tanda tangan mereka. Fenomena tarik dukung terhadap usul amandemen tersebut sungguh menarik untuk dicermati dari pinggir pentas sejarah negeri ini yang tengah mengonsolidasikan demokrasinya.
"Tidak mudah memang upaya penguatan kewenangan itu, apalagi melalui cara amandemen konstitusi. Dari pengalaman yang dimiliki, DPD tahu persis betapa amandemen sangat membutuhkan bukan saja dorongan politik dan dukungan masyarakat secara luas, tapi juga momentum yang tepat," jells Hemas.
Menurut catatan, sejak 2004 hingga 2018, DPD telah mengartikulasikan kepentingan daerah melalui usul RUU sebanyak 87 RUU, 256 pandangan dan pendapat, 80 (delapan puluh) pertimbangan APBN, 217 pengawasan, 20 pertimbangan, 9 Prolegnas, dan 11 rekomendasi.
"Capaian tersebut merupakan hasil kolaborasi apik kinerja lembaga dan anggota DPD dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah secara optimal. Tak hanya itu, DPD RI terus berupaya memberikan perhatian penuh pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan daerah," kata Hemas.
"Sebab, hingga kini beberapa wilayah Indonesia belum merasakan pembangunan yang optimal untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Kesenjangan antar daerah masih tinggi, tingkat kemiskinan pun cukup tinggi terutama di Indonesia timur. Sebagian besar kabupaten yang tergolong daerah tertinggal terdapat di Indonesia timur," imbuhnya.
Dia berujar, permasalahan pembangunan daerah yang tidak merata merupakan tantangan pemerintah. Pembangunan harus merata di seluruh wilayah Indonesia sesuai kebutuhan masing-masing untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. DPD RI dituntut untuk membuat kebijakan dalam mewujudkan pembangunan.
Kebijakan tersebut hendaknya diutamakan berbasiskan pembangunan daerah, perbatasan, ataupun desa tertinggal. Peran itu harus lebih ditingkatkan melalui fungsi memberikan pertimbangan dan pengawasan dalam pelaksanaan pembangunan yang dicanangkan pemerintah, dan meningkatkan produk legislasi lainnya dari yang sudah pernah dihasilkan seperti RUU Perkoperasian, RUU Ekonomi Kreatif, dan RUU Perekonomian Nasional.
"Wujud kepedulian DPD kepada kesejahteraan masyarakat dan daerah yang merata dan berkeadilan juga hendaknya dengan meningkatkan perhatian dan keterlibatan penuh DPD dalam Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), wadah utama bagi program pemekaran wilayah. Sebab, pemekaran wilayah adalah bagian dari penataan daerah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah," ungkap Hemas.
Berdasarkan evaluasi dari sejumlah aspek, memang pemekaran wilayah ada yang berhasil, namun sebagian besar daerah otonomi baru kurang berhasil dan memendam sejumlah masalah seperti pengalihan personil, peralatan, pembiayaan, dan dokumen yang belum terlaksana dengan baik, serta pelayanan publik juga belum optimal," terang Hemas. dtc