Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Salah satu perusahaan pengolahan teh terkemuka dan cukup tua PT Sariwangi Agricultural Estate Agency (SAEA) telah tumbang. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan perusahaan berstatus pailit. Ada apa sebenarnya dengan industri teh tanah air?
Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia (DTI) Suharyo Husen menjelaskan, industri teh tanah air memang saat ini sedang dalam proses untuk bangkit kembali setelah melesu sejak masa jayanya di tahun 70-an. Penurunan industri ini bisa dilihat dari semakin berkurangnya lahan kebun teh.
"Lahan teh itu setiap tahun berkurang 30 ribu hektare. Dulu lahan teh bisa mencapai 160 ribu hektare, sekarang berkurang jadi 117 ribu hektare," terangnya, Kamis (18/10/2018).
Menurutnya ada beberapa faktor yang membuat lahan perkebunan teh di Indonesia berkurang. Para pemilik perkebunan teh, baik petani, swasta maupun perusahaan milik pemerintah merubah menjadi lahan untuk tanaman lain seperti kelapa sawit ataupun tanaman holtikultura.
"Mungkin alasannya karena desakan ekonomi, kalau teh saja mungkin dianggap enggak cukup. Kalau bagi swasta memandang dari segi bisnis," tambahnya.
Lahan perkebunan teh sebanyak 117 ribu hektare itu terbagi sekitar 53 ribu hektare merupakan milik para petani, sisanya dimiliki korporat baik swasta maupun perusahaan milik pemerintah.
Produktivitas secara industi juga menurun. Untuk kebun milik petani saat ini rata-rata produksi hanya sekitar 1 ton per hektar per tahun. Sementara korporasi sekitar 2,5-3 ton per hektare per tahun.
"Itu karena banyak tanaman yang tua juga. Untuk petani sedang mau didorong menjadi 2,5 ton per hektar. Ada gerakan penyelamatan agribisnis teh nasional. Jadi dari 53 ribu hektare sekarang sudah 15 ribu hektare yang diperbaiki. Sekarang kondisi industri teh kita sudah mulai menunjukan perbaikan," terangnya.
Meski begitu, produk teh RI namanya masih cukup harum di mata dunia. Menurut Suharyo produk ekspor teh RI saat ini menduduki posisi kedua setelah Sri Lanka.
Dari total produksi teh nasional saat ini sebanyak 130 ribu ton per tahun, sekitar 70 ribu ton di ekspor ke berbagai dunia. Sisanya dijual di dalam negeri.
"Harga jual teh kita di luar saat ini sekitar US$ 2 per kg, Sri Lanka US$ 3 per kg. Tapi sekarang harga produk teh kita sudah membaik sekitar US$ 2,2 per kg," tutupnya.
Penjualan Teh di Pasaran
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi Lukman mengatakan pada dasarnya perusahaan Sariwangi dengan produk teh celup tersebut sudah tidak memiliki ikatan. Sebab, brand Sariwangi sekarang telah dimiliki oleh PT Unilever Indonesia.
Maka dari itu, Adhi menjelaskan putusan pengadilan tersebut tidak akan memengaruhi penjualan teh di pasaran. Pasalnya, Sariwangi sendiri tetap akan menjual produknya di pasaran.
"Saya rasa ini nggak berdampak karena sebenarnya harus dibedakan ya PT Sariwangi dengan mereknya itu milik Unilever. Jadi nggak ada pengaruhnya," ungkap dia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan nanti perkebunan milik PT Sariwangi sendiri akan tetap beroperasi seperti biasa. Hanya saja ditunggu siapa yang berhak untuk mengelola perkebunan tersebut.
"Kalau dipailit kan nanti ada pembagain harta. Jadi nanti teh tetap ada, panen ada tapi siapa yang operasionalkan itu nanti tunggu putusan bakal dibeli perusahaan lain atau apa," ungkap dia.
Sementara itu, PT Sariwangi sendiri diputuskan pailit karena memiliki utang kepada Bank ICBC Indonesia mencapai US$ 20.505.166 atau sekitar Rp 309,6 mil
(dtf)