Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia mengambil bagian dalam gerakan global March for Climate bertema "Wake up! It's Time to Save Our Home!, sebagai rangkaian dari gerakan yang didorong oleh masyarakat sipil dalam putaran 24th Conference of the Parties to the United Nation Framework on Climate Change (COP24 UNFCC), di Katowice, Polandia.
Walhi menyuarakan berbagai fakta persoalan dan krisis lingkungan hidup dan perubahan iklim yang terjadi di tingkat tapak. Perubahan iklim sebagai problem global tidak bisa dilepaskan dari fakta krisis yang terjadi di tingkat tapak di berbagai belahan dunia, Indonesia salah satunya.
Namun faktanya, hingga putaran COP 24 ini, belum ada upaya yang signifikan dari para pihak untuk mengoreksi model pembangunan dunia yang konsumtif yang memicu krisis iklim. Report IPCC terbaru menunjukkan ancaman yang begitu nyata yang harus dialami akibat jika suhu bumi tidak ditahan di bawah 1,5 derajat Celcius. Kelangkaan air, krisis pangan dan dampak kesehatan yang akan dialami oleh penduduk bumi.
Dalam keterangan pers tertulisnya yang diterima medanbisnisdaily.com, Senin (10/12/2018), deforestasi adalah ancaman yang serius bagi Indonesia. Penyumbang terbesar deforestasi dari perkebunan skala besar, seperti perkebunan sawit, kebun kayu dan tambang.
Di Kalimantan Barat saja perkebunan kelapa sawit telah menguasai lebih dari 4 juta hektar. Upaya penurunan emisi dengan menghentikan laju deforestasi tidak bisa hanya menjadi komitmen pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah yang memiliki kewenangan mengeluarkan perizinan dengan alasan untuk pendapatan daerah.
Dimas Hartono, Direktur Wlahi Kalimantan Tengah menyatakan bahwa setiap tahunnnya Kalimantan Tengah kehilangan hutan seluas 132.000 hektar akibat industri ekstraktive. Sampai detik ini masih terjadi deforestasi. Adalah kesesatan berpikir jika beranggapan bahwa deforestasi dapat menghasilkan pendapatan daerah. Negara justru harus menanggung biaya lingkungan akibat penghancuran hutan yang sistematis dilakukan.
Selain deforestasi untuk perkebunan skala besar, hutan dihancurkan untuk tambang batubara. “Di saat berbagai negara sudah meninggalkan batubara, Indonesia masih terus bergantung pada batubara, industri kotor, rakus dan mematikan seperti yang terjadi di Kalimantan Timur. Bukan hanya deforestasi dan kerusakan lingkungan hidup, anak-anak mati di lubang tambang batubara. Ini semua harus diakhiri, jika pemerintah serius ingin menurunkan emisi di sektor energi”, tegas Direktur Walhi Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen.
Hal yang sama terjadi di Sumatera Selatan yang terus menggenjot pembangunan PLTU Batubara. Menurutnya, Gubernur Sumatera Selatan menargetkan penurunan emisi dari kontribusi Sumatera Selatan sebesar 17% dari total target nasional. Namun faktanya pembangunan PLTU terus dijalankan, bahkan masuk dalam strategi pembangunan nasional. Direktur Walhi Sumatera Selatan, Muhammad Hairul Sobri mendesak agar pemerintah menghentikan proses pembangunan PLTU di Sumatera Selatan.
Alih-alih sebagai bagian dari upaya energi terbarukan, pemerintah membangun proyek-proyek energi yang diklaim bersih, seperti geothermal dan PLTA skala besar, di antaranya proyek PLTA Batang Toru. Pemerintah mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia antara lain melalui prinsip Free Prior Inform Consent dari masyarakat, khususnya masyarakat di hilir Sungai Batang Toru yang akan terdampak dari pembangunan PLTA Batang Toru.
Karenanya, Walhi Sumatera Utara mendesak pemerintah menyetop proyek PLTA Batang Toru, karena penghancuran terhadap biodiversity seperti orang utan Tapanuli dan yang lainnya.
"Begitu juga dengan ekonomi masyarakat dan ancaman bencana gempa akibat pembangunannya , tidak layak disebut energy baru dan terbarukan," jelas Direktur Walhi Sumatra Utara, Dana Prima Tarigan.
Pada COP 24 ini, Presiden Joko Widodo telah menandatangani deklarasi politik Solidarity and Just Transition Silesia Declaration.
“Walhi mengapresiasi komitmen pemerintah Indonesia yang ikut menandatangani deklarasi tersebut bersama dengan 49 negara lainnya. Namun komitmen internasional tersebut harus diimplementasikan dalam kebijakan di dalam negeri, dengan membuat roadmap phase out dari energi kotor ke energi terbarukan yang berkeadilan dan memenuhi prinsip hak asasi manusia”, ujar Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Yuyun Harmono.