Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah mencabut peraturan moratorium (penghentian sementara) izin kapal eks asing dengan ukuran di atas 30 GT. Namun kini dia memberlakukan larangan pengoperasian kapal ex-asing dan penggunaan modal asing di bidang penangkapan ikan.
Tujuan dari aturan tersebut adalah untuk mengatur pengoperasian kapal eks asing yang selama ini beroperasi dan meraup untung besar dengan cara ilegal.
Dikutip dari keterangan resmi, Sabtu (15/12/2018), Susi mengatakan saat ini langkah pelarangan kapal eks asing beroperasi lantaran telah dibuktikan adanya pengaruh yang sangat buruk bagi keberlanjutan perikanan Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat dari djatuhkannya sanksi administrasi terhadap 1.132 kapal perikanan eks-asing yang menjadi objek analisis dan evaluasi.
Kapal eks asing merupakan sebuah terminologi yang digunakan untuk mempopulerkan objek moratorium berdasarkan PERMEN KP 56, yaitu kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri. Kapal eks asing tidaklah sama dengan kapal asing (berbendera asing) yang sering ditangkap karena melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia tanpa izin penangkapan.
Susi menjelaskan, saat itu moratorium diberlakukan untuk kapal eks asing karena sumber daya perikanan Indonesia tengah berada dalam 'tekanan'.
Ukuran kapal-kapal eks asing berada dalam kategori 6, 7 dan 8, atau ukuran kapal 10-20 GT, 20-30 GT, 30-50 GT. Dengan konfigurasi kapal yang berkapasitas besar, memiliki palka berpendingin, didukung dengan kemampuan modal yang cukup, maka daya eksploitasi kapal-kapal eks asing menjadi sangat besar jika dibandingkan dengan kapal-kapal yang masuk dalam kategori 10 GT ke bawah.
"Visi mewujudkan sustainable fisheries yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi tidak akan terwujud jika kegiatan penangkapan ikan diisi oleh kapal-kapal perikanan dengan kemampuan eksploitasi yang besar, melampaui daya dukung sumber daya ikan," kata Susi.
Adapun, kapal-kapal eks asing mayoritas dimiliki oleh perusahaan perikanan dengan modal asing (PMA) dan beroperasi di remote area sehingga faktanya sulit terpantau aparat pengawas, misalnya di Wanam, Benjina, Avona, Tual.
Pemerintah menemukan fakta bahwa keberadaan modal asing pada perusahaan perikanan menyebabkan kendali perusahaan dan termasuk kapal-kapal yang dioperasikan terdapat pada badan hukum/orang asing di luar negeri (person in control) dan bukan perusahaan perikanan di Indonesia. Kondisi ini merupakan bentuk nyata dari ketiadaan genuine link antara kapal perikanan eks asing dengan negara Indonesia.
Padahal, hal itu merupakan kewajiban yang diatur dalam Pasal 91 ayat 1 United Nation Convention on the Law of The Sea (UNCLOS). Penggunaan anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan asing pada kapal-kapal eks asing dilarang oleh Undang-Undang Perikanan.
Penggunaan ABK Indonesia bagi perusahaan pemodal asing tidak akan menguntungkan mereka karena ada kekhawatiran bahwa ABK berkewarganegaraan Indonesia melaporkan berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan kepada aparat penegak hukum (whistleblower).
Selain itu, mempekerjakan ABK Indonesia berisiko tinggi karena sewaktu-waktu ABK Indonesia dapat kembali ke kampung asal mereka. Selain itu, diperbolehkannya transshipment pada saat itu juga memperburuk pelanggaran-pelanggaran yang terjadi karena tidak hanya pemindahan ikan tanpa pencatatan untuk ekspor yang terjadi (unreported fishing), tetapi juga perpindahan manusia dan benda-benda serta fauna yang dilindungi yang terjadi di tengah laut.
Unreported fishing berdampak pada rendahnya pelaporan dan pembayaran pajak penghasilan perusahaan perikanan, yang berarti negara kehilangan potensi pajak. Sebagai contoh, data dari Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2015 menunjukkan bahwa di Bitung terdapat 34 subjek hukum pemilik kapal eks asing yang mana 5 diantaranya tidak membayar pajak sama sekali dan 4 dari 5 subjek hukum ini tidak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Pajak) pada rentang waktu 2012-2014.
Selain itu, terdapat 9 perusahaan lainnya melakukan pembayaran pajak namun terdapat selisih yang cukup besar, sehingga negara banyak dirugikan dari sisi penerimaan pajak.(dtf)