Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menanggapi pernyataan mantan Menteri ESDM, Sudirman Said. Sebelumnya, pada 2015 silam saat menjadi menteri, Sudirman menginginkan agar skema divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) dilakukan dengan cara melepas saham melalui pasar modal atau Initial Public Offering (IPO).
Ferdy menegaskan bahwa pernyataan Sudirman tersebut merupakan langkah yang tidak tepat dan cermat.
Ferdy yang juga merupakan penulis buku 'Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara' mengatakan mekanisme pelepasan melalui pasar modal tak pernah dianjurkan oleh UU No.4/2009 tentang Mineral dan Batubara.
"Kalau saham Freeport dilepas melalui mekanisme IPO di pasar modal, yang dapat untung hanya pengusaha kaya. Pelaku pasar modal hanya 0.6 % penduduk Indonesia. Sudah begitu, banyak investor yang beli saham di pasar modal juga adalah investor asing. Itu makanya kalo krisis di Indonesia, ada capital outflow besar-besaran," ujar Ferdy dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/2/2019).
Jika melalui IPO, saham Freeport akan menjadi rebutan pengusaha lokal yang memiliki banyak uang dan menjadi incaran para politisi.
Ferdy memberikan contoh pengalaman pelepasan saham Garuda Indonesia. Pada IPO saham Garuda, Mantan Bendahara Partai Demokrat, M Nazarudin memborong 400 juta saham atau Rp3 00 miliar yang dilakukan 5 perusahaan miliknya. Setelah IPO salah satu pengusaha kakap mendapat pinjaman Credit Suisse memborong 351.6 juta lembar (10 % saham GIA).
"Fakta ini mau menunjukkan bahwa opsi divestasi saham PTFI melalui IPO bukan solusi cerdas, tetapi solusi instan," kata Ferdy.
Ia mengatakan Sudirman waktu jadi menteri ESDM kelihatan sekali tidak mampu memberikan solusi yang lebih brilian dibandingkan rezim-rezim sebelumnya dalam melakukan divestasi saham pertambangan. IPO saham Freeport akan menjadi lahan garapan politisi dan kelompok-kelompok pebisnis untuk korupsi.
Selain itu, lanjut Ferdy, Sudirman juga menanggapi soal perpanjangan kontrak dan pembangunan pabrik smelter.
Soal perpanjangan kontrak hingga 2041, Ferdy mengatakan itu adalah keputusan bisnis. Tanpa ada perpanjangan kontrak sampai 2041, Freeport tidak akan berinvestasi di tambang underground yang mencapai angka US$ 17 miliar dan pembangunan smelter tak berjalan.
"Jadi, nalar politik tak akan pernah mampu memahami mengapa pemerintah harus memperpanjang kontrak Freeport sampai tahun 2041. Mekanisme korporasi yang dilakukan pemerintah untuk mengambil alih saham PTFI adalah langkah paling elegan," jelas Ferdy.
"Coba Sudirman Said tanya investor. Investor mana yang mau bangun pabrik smelter tembaga dengan dana besar mencapai US$ 2,3 miliar jika izin tidak diperpanjang. Kok logikanya kebalik ya, bangun smelter dulu baru diperpanjang. Pantas dulu negosiasi kontrak terkait divestasi dengan Freeport nggak jalan," terang Ferdy.
Pemerintah Indonesia melalui perusahaan Holding Industri Pertambangan Inalum resmi mengontrol memiliki 51.23% persen saham PTFI pada akhir tahun lalu.
Pemerintah kemudian menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan catatan perpanjangan kontrak sampai tahun 2041, wajib membangun smelter tembaga dan jaminan kepastian fiskal dan investasi bagi Freeport.
Perpanjangan kontrak hingga 2041 dinilai Ferdy masuk akal karena Inalum masih membutuhkan Freeport mengolah tambang underground yang berteknologi dan infrastruktur canggih.
Ferdy pun menjelaskan tambang underground di Grasberg dengan metode block caving menurut para geologi pertambangan memang sangat berisiko tinggi dan membutuhkan dana investasi besar.
Banyak geolog kelas dunia, kata Ferdy, mengatakan tambang underground di Grasberg tak boleh berhenti. Sekali berhenti, akan meningkatkan tegangan dan mengakibatkan runtuhnya terowongan.
Ferdy menegaskan itulah mengapa Freeport di tambang underground membangun terowongan bawah tanah sampai ribuan kilometer. Jika proses tambang underground terhenti, akan mengalami kerugian besar mencapai US$ 5-10 miliar. (dtf)