Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) diminta untuk melarang aplikator transportasi ojek online menerapkan tarif promo yang berlebihan dan mengarah pada praktik predatory pricing berbungkus promo yang terus menerus.
Perilaku persaingan usaha yang tidak sehat tersebut dinilai berpotensi menyingkirkan kompetitor hingga pada akhirnya menciptakan monopoli yang merugikan konsumen.
Usulan tersebut datang dari kesimpulan diskusi publik berjudul "Aturan Main Industri Ojol: Harus Cegah Perang Tarif" yang digelar Komunitas Peduli Transportasi di Jakarta, di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (20/5/2019), sebagaimana dalam keterangan tertulis, Selasa (21/5/2019).
Ketua Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Periode 2015-2018, Syarkawi Rauf, menilai dua payung hukum yang diterbitkan pemerintah untuk mengatur bisnis transportasi online, masih memiliki celah yang bisa disalahgunakan oleh aplikator.
Dua beleid tersebut adalah Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat dan Kepmenhub Nomor KP 348 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi.
"Dalam aturan itu ada ketentuan tarif batas atas untuk melindungi konsumen, serta tarif batas bawah untuk mencegah perang tarif. Tapi tidak diatur soal promosi," ujar Syarkawi.
Dia menyayangkan pemerintah tidak mengatur ketentuan pemberlakuan promosi yang bisa diberikan oleh aplikator kepada konsumennya. Pasalnya dari situ bisa muncul praktik predatory pricing.
"Misal ongkos produksinya 20, lalu aplikator jual 0. Atau kenapa dengan tarif promosi bisa diskon 100%, yang malah bisa menjual ke konsumen secara gratis. Istilahnya dia berani jual rugi untuk memperbesar pangsa pasar dan menyingkirkan kompetitornya," katanya.
Praktek ini, kata Syarkawi, terindikasikan tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dimana, pasal 20 beleid tersebut mengatakan pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat menyebabkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Jika dilihat dari kacamata konsumen, Syarkawi membantah bahwa tarif promosi itu menguntungkan dalam jangka panjang. Pasalnya, jika suatu perusahaan yang melakukan predatory pricing itu sudah berhasil menyingkirkan kompetitornya dan menjadi pemain tunggal (monopolis), barulah ia akan menerapkan tarif yang sangat tinggi guna menutupi biaya promosi yang sudah pernah dikeluarkannya dulu.
Oleh karena itu, Kementerian Perhubungan, kata Syarkawi, harus merevisi Permenhub 12 Tahun 2009 supaya membatasi promo pada batas wajar dan memberikan sanksi bagi aplikator yang terindikasi melakukan promo tidak wajar.
Sementara itu, Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muslich Zainal Asikin, menilai Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, sudah sangat bijaksana mengatur dan memperhatikan keberlangsungan usaha transportasi online di Indonesia. Pemerintah cukup memahami adanya kebutuhan regulasi untuk menjaga agar manfaat positif tersebut dapat dinikmati terus menerus.
Namun demikian, Kemenhub bisa menerapkan pengaturan transportasi konvensional dan transportasi roda-empat online yang melarang promo dibawah batas bawah ke pengaturan ojek online.
“Contohnya di industri transportasi konvensional, Blue Bird dan Express tidak bermain di ranah harga, atau promosi jor-joran tetapi di layanan dan produk yang solutif. Ini persaingan yang lebih sehat. Kemenhub harusnya bisa menerapkan beleid pembatasan promo di aturan ojek online, seperti yang diterapkan di Permenhub soal taksi online,” kata Muslich.
Menurutnya, pengaturan tarif saja tanpa pengaturan promo atau subsidi tidak cukup. Ia menilai diperlukan penyempurnaan pengaturan yang jelas dan tegas untuk menghentikan perang harga, promosi dan diskon yang agresif.
“Harus ada koordinasi Kemenhub, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan KPPU, untuk menetapkan mekanisme sanksi terhadap upaya-upaya predatory pricing yang mengarah ke monopoli dan mengancam keberlangsungan industri transportasi online,” ucapnya.
Dia menambahkan, ekosistem transportasi online terdiri dari pengemudi, aplikator, dan konsumen. Dalam menentukan tarif ojek online, pemerintah perlu mempertimbangkan perspektif seluruh pihak yang terlibat di dalam ekosistem ini, termasuk konsumen.
“Melihat besarnya jumlah masyarakat yang sudah menjadi konsumen tetap transportasi online, sudah selayaknya konsumen memiliki peranan penting dalam mempengaruhi kebijakan,” kata Muslich
Ketua Tim Peneliti RISED yang juga ekonom Universitas Airlangga, Rumayya Batubara, memaparkan berdasarkan penelitian yang lembaganya lakukan 75% konsumen menolak penerapan tarif baru ojek online.
"47,6% kelompok konsumen hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojek online maksimal Rp 4.000-Rp 5.000 per jari. Selain itu, 27,4% kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali," ujarnya.
Dengan skema tarif yang berpedoman pada Kepmenhub tarif ojek online dan rata-rata jarak tempuh konsumen berarti pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 4.000-Rp 11.000/hari di Zona I, Rp 6.000-Rp 15.000/hari di Zona II, dan Rp 5.000-Rp 12.000/hari di Zona III.
Terkait promo yang masih berlangsung saat masa uji coba tarif baru, Rumayya mengatakan, yang ada di lapangan tidak sepenuhnya mencerminkan penerapan tarif baru yg ditetapkan.
"Pemerintah jangan sampai membaca animo yang salah. Karena tidak akan terjadi perubahan tarif yang dirasakan masyarakat karena tertahan oleh praktek promo jor-joran, bahkan mungkin bisa lebih murah dibandingkan tarif lama," pungkasnya.