Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Hong Kong. Otoritas Hong Kong menunda pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) ekstradisi yang kontroversial dan diprotes banyak warganya. Penundaan diputuskan setelah puluhan ribu demonstran yang menolak RUU yang mengizinkan ekstradisi ke Cina itu, kembali turun ke jalan hingga melumpuhkan Hong Kong.
Diketahui bahwa pemerintah Hong Kong tengah mendorong RUU yang akan mengizinkan ekstradisi ke setiap yurisdiksi yang sebelumnya tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong, termasuk daratan Cina. RUU itu menuai protes luas dari banyak kalangan di Hong Kong, mulai dari kalangan pro-bisnis, pengacara hingga mahasiswa dan tokoh pro-demokrasi serta kelompok keagamaan.
Chief Executive Hong Kong Carrie Lam sebelumnya menegaskan tidak akan mencabut RUU ekstradisi itu. Penegasan disampaikan sehari setelah pada Minggu (9/6/2019) lalu, lebih dari 1 juta warga Hong Kong turun ke jalanan untuk memprotes RUU kontroversial yang mengizinkan ekstradisi ke beberapa negara, termasuk daratan Cina.
Seperti dilansir AFP dan CNN, Rabu (12/6/2019), pembahasan kedua untuk RUU ekstradisi di parlemen Hong Kong dijadwalkan digelar pada Rabu (12/6) pagi waktu setempat. Pada hari yang sama, para demonstran kembali menggelar aksi protes mereka dengan mengambil lokasi di depan gedung pemerintahan.
Dalam pernyataan terbaru, Dewan Legislatif Hong Kong mengumumkan bahwa rapat yang dijadwalkan digelar pada Rabu (12/6/2019) pagi akan 'diubah ke tanggal lainnya' setelah kerumunan demonstran melakukan rally di jalanan dan memblokir sejumlah ruas jalan utama.
"Di bawah aturan prosedur 14(3), Presiden Dewan Legislatif telah mengarahkan bahwa rapat Dewan tanggal 12 Juni yang dijadwalkan akan dimulai pukul 11.00 hari ini akan diubah ke waktu lainnya, yang akan ditentukan oleh beliau. Para anggota akan diberitahu soal waktu rapat nantinya," demikian pernyataan Departemen Layanan Informasi kepada wartawan setempat.
Aksi yang digelar puluhan ribu demonstran pada Rabu (12/6/2019) waktu setempat, melumpuhkan Hong Kong. Para demonstran yang kebanyakan kaum muda dan mahasiswa yang berpakaian serba hitam ini, mengepung gedung-gedung pemerintahan termasuk gedung Dewan Legislatif Hong Kong. Aksi mereka ini membuat ruas-ruas jalan utama terblokir dan lalu lintas sama sekali tak bergerak.
Jajaran polisi antihuru-hara yang memakai masker dan helm, tampak siaga mengawal aksi protes ini. Namun mereka dilaporkan kalah jumlah dengan para demonstran. Pada Rabu (12/6/2019) pagi menuju siang, jumlah demonstran semakin bertambah. Di luar gedung Dewan Legislatif, polisi menembakkan meriam air dan mengerahkan semprotan merica untuk mengendalikan para demonstran.
Lebih dari 100 pusat bisnis di Hong Kong menyatakan akan menutup operasional sepanjang Rabu (12/6/2019) sebagai bentuk solidaritas untuk para demonstran. Serikat-serikat mahasiswa Hong Kong juga telah mengumumkan mereka memboikot kuliah demi ikut unjuk rasa tersebut.
Serangkaian serikat pekerja baik dalam sektor transportasi, kerja sosial hingga pendidikan dibebaskan untuk mengikuti unjuk rasa itu. Serikat pengemudi bus setempat bahkan mendorong para anggotanya untuk mengemudikan bus secara perlahan sebagai bentuk solidaritas.
"Pemerintah yang telah memaksa rakyat untuk meningkatkan aksi mereka, jadi saya pikir tidak terhindari bahwa perjuangan kali ini memanas," ucap salah satu demonstran bernama Lau Ka-chun (21).
Aksi protes ini merupakan yang kedua usai unjuk rasa pada Minggu (9/6/2019) lalu yang diklaim diikuti lebih dari 1 juta orang. Banyak pihak mengkhawatirkan RUU itu akan melemahkan penegakan hukum di Hong Kong. Diketahui bahwa Hong Kong yang bekas koloni Inggris dan diserahkan ke Cina tahun 1997, memiliki jaminan otonomi dan berbagai kebebasan termasuk sistem hukum terpisah dari Cina. Banyak kalangan meyakini kebebasan ini menjadi aset terkuat Hong Kong.
Amnesty International sebelumnya menyebut RUU ekstradisi itu menjadi ancaman bagi HAM. "Jika diberlakukan, aturan hukum ini akan memperpanjang kemampuan otoritas daratan utama (Cina-red) untuk menargetkan para pengkritik, aktivis HAM, jurnalis, pekerja LSM dan siapa saja di Hong Kong, sama seperti yang mereka lakukan di wilayah mereka," demikian pernyataan Amnesty International.(dtc)