Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin
Sebelumnya, ada seorang nasabah bank konvensional sekaligus nasabah bank syariah yang mencoba membandingkan perbedaan produk pinjaman kedua jenis bank tersebut. Beliau mencoba menggambarkan besaran cicilan kendaraan ataupun rumah lewat bank syariah dan konvensional. Dan beliau pada suatu kesimpulan bahwa bank syariah dan bank konvensional itu sama.
Beliau menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mendasar terkait dengan bank syariah tersebut jika disandingkan dengan bank konvensional. Ditambahkan pula tidak ada perbedaan yang signifikan, tetap saja bank syariah ini menggunakan riba. Begitulah sepenggal pendapat dari beliau terkait penilaiannya terhadap bank syariah.
Setelah saya cermati lebih mendalam, ungkapan beliau tersebut lebih didominasi oleh hitungan matematis terkait dengan cicilan semata. Beliau sendiri mengetahui bahwa ada akad yang dijadikan dasar pembiayaan bank syariah tersebut. Akan tetapi beliau tidak memahami apa akad tersebut, hanya mengerti istilahnya saja.
Dan sayangnya, pegawai bank syariah juga tidak memberikan penjelasan rinci mengenai akad itu sendiri. Jadi proses edukasi atau memberikan pemahaman yang mendalam kepada nasabahnya terbaikan. Setelah dicek, ternyata pegawai bank syariahnya hanya menyampaikan apa yang diinginkan nasabah.
Begitu nasabah mengungkapkan keinginannya untuk memiliki rumah dan menanyakan untuk mendapatkan pembiayaan kendaraan,.pegawai bank syariah langsung mengambil brosur list harga beserta cicilannya. Tanpa menjelaskan lebih rinci bagaimana list harga serta cicilan itu dibuat mengacu akad yang ditetapkan dari bank syariah tersebut.
Saya secara pribadi menyanyangkan hal tersebut. Padahal seorang nasabah itu sendiri seyogyanya mendapatkan pemahaman baru seiring dengan keinginannya bertransaksi lewat bank syariah. Bukan hanya sekadar melayani tanpa ada tanggung jawab untuk mengedukasi. Terlebih jika nasabah tersebut sangat awam. Padahal semakin banyak masyarakat paham tentang bank syariah, maka proses marketing bank dyariah semakin baik.
Itu adalah salah satu contoh kasus. Mungkin pembaca memiliki contoh kasus lainnya. Dari contoh kasus yang pernah saya terima, banyak nasabah yang menyimpulkan bahwa bank syariah masih pakai bunga. Misalkan, A meminjam uang untuk membeli kendaraan di bank konvensional dengan bunga 10% per tahun. Selanjutnya A juga mengajukan permohonan pembiayaan kenderaan di bank syariah dan mendapatkan daftar harga beserta cicilannya.
Hasilnya A mendapatkan cicilan yang sama. Dan A menyimpulkan bahwa bank syariah tersebut menggunakan riba. Karena cicilan yang kenakan bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank konvensional. Dan A menyimpulkan bahwa bank syariah juga mengambil keuntungan 10%, dan ini dikategorikan sebagai bunga.
Padahal ada penjelasan rincinya untuk menjawab hal tersebut. Yang perlu dipahami di awal adalah apa akad yang ditetapkan di awal. Misalkan, bank syariah dalam memberikan pembiayaan kenderaan bermotor menggunakan akad murabahah atau jual beli pada saat A mengajukan permohonan pembiayaan kendaraan.
Maka bank syariah akan membeli kendaraan terlebih dahulu lalu dijual kepada nasabahnya. Misalkan bank syariah membeli kendaraan yang diinginkan oleh si nasabah. Misal harga kendaraan tersebut 100 juta. Selanjutnya bank syariah menjual ke nasabahnya sebesar 110 juta. Lantas dibagi dengan tempo pinjaman yang diajukan oleh nasabah. Katakanlah 1 tahun, maka dibagi menjadi 12 bulan. Dan nasabah memiliki kewajiban mencicil selama dua belas bulan.
Dalam konteks jual beli di atas, jelas memang bank syariah mendapatkan keuntungan dari penjualan mobil ke nasabah. Angkanya sebesar 10% (beli seharga 100 juta dijual 110 juta). Sama dengan besaran bunga yang ditetapkan oleh bank konvensional sebesar 0%. Dan dalam konteks tersebut bank syariah memang tak ubahnya hanya seperti pedagang.
Dan bank yang berdagang itu halal. Lantas apakah bank syariah ini bisa dikategorikan sama halnya dengan bank konvensional?. Tentunya tidak. Karena pada dasarnya menggunakan akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Dan untuk menjawab hal tersebut saya akan menganalogikannya dengan hal lain yang mudah di fahami di akhir tulisan ini.
Lanjut ke contoh kasus lainnya. Terkait dengan pembiayaan perumahan. Dalam prakteknya, seorang nasabah bank syariah yang mendapatkan pembiayaan perumahan pernah mengatakan ke saya kalau bank syariah ini lagi lagi sama seperti konvensional. Yang dipermasalahkan adalah kok bisa nasabah yang beli rumah, tetapi justru cairnya duit ke nasabah. Bukankah dalam murabahah itu bank membeli langsung ke developer terus dijual ke nasabah.
Nasabah melihat ada kredit uang masuk ke rekeningnya namun uangnya keluar lagi ke developer. Yang perlu dipahami dalam konteks ini adalah bahwa bank bisa saja menggunakan akad wakalah atau istilah bahasa indonesianya itu adalah kuasa beli. Jadi bank yang menggunakan akad wakalah ini memberikan kuasa beli kepada si nasabah.
Artinya bank menyetor uang kepada nasabah, selanjutnya nasabah yang membeli rumahnya ke developer. Kalau besaran pembiayaannya semakin besar, sudah pasti bank syariah mengambil untung di situ. Artinya begini, misal developer menjual rumah di harga 130 juta. Nasabah sudah membayar DP 30 Juta.
Lantas bank syariah menyetor uang 100 juta ke nasabah untuk melunasi pembelian rumah tersebut (kuasa beli atau wakalah). Selanjutnya bank syariah mengenakan tagihan sebesar 150 juta atau bank syariah mengambil keuntungan sebesar 50 juta. Ya jelas ini tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Trsnsaksi model seperti itu halal.
Kalau seandainya bank syariah langsung membayar lunas ke developer, ini juga tidak menjadi masalah. Artinya bank membeli ke developer untuk selanjutnya dijual kepada nasabah. Atau dalam bahasa akuntansinya wakalahnya off balance sheet. Sudah bisa dipastikan model transaksinya halal.
Jadi memang nasabah atau masyarakat awam dalam memahami bank syariah harus memahami secara prinsipil alur transaksi bank syariah tersebut. Jangan hanya melihat dari kulit luarnya saja. Yang dikhawatirkan akan ada penafsiran yang keliru. Dan jangan memiliki ekspektasi yang berlebihan seperti bertransaksi lewat bank syariah akan lebih murah, lebih cepat, tidak perlu survei usaha atau tempat tinggal, dan banyak lagi ekspektasi yang berbau keuntungan secara ekonomis semata bila menggunakan bank syariah.
Tetapi cobalah dimulai dengan rasa ingin untuk mengetahui lebih dalam bagaimana transaksi syariah tersebut, terlebih prinsip transaksi bank syariah. Jangan hanya menjustifikasi bahwa bank syariah dan Konvensional itu sama saja, karena hanya melihat produknya saja.
Seperti contoh di atas, nasabahnya yang cenderung pragmatis, di mana bertransaksi syariah lebih melihat benefit produknya semata. Ada logika yang menurut hemat saya kurang pas pada masyarakat kita. Masyarakat kita pada umumnya faham bagaimana menyembelih ayam sehingga dagingnya halal di konsumsi. Bermodalkan pisau, dan mengucapkan lafaz “Bismilahirohmannirrohim” atau “Bismillahi Allahu Akbar”. Tetapi cenderung abai dalam memilih mitra Bank nya.
Nah kembali lagi, bagaimana kalau kita memotongnya tidak dengan cara Islam. Yang penting ayam itu mati atau diolah sehingga menjadi masakan yang enak. Atau bagaimana seandainya kita diberikan dua pilihan daging ayam, satu yang dipotong secara Islam dan satunya tidak. Saya yakin mereka yang masih punya iman akan tetap memilih ayam yang disembelih dengan cara islam. Karena harga atau rasa bisa jadi sama, tetapi lihat caranya.
Jadi jangan hanya fokus kepada harga ataupun rasanya saja. Sama halnya dengan bank syariah, produk (harga, cicilan, presentase keuntungan atau mungkin rasa) tidak berbeda dengan bank konvensional. Tetapi lihat alurnya, lihat akadnya, lihat prinsip syariahnya. Jadi kalau kita berani memilih daging ayam yang halal, sudah semestinya kita berani memilih bank yang halal.
Dan jangan berkampanye negatif tentang bank dyariah. Bisa jadi kita yang berkampanye negatif ini justru menentang Alquran dan Hadits. Karena jelas riba dilarang dalam islam dan dalilnya jelas.
*Gunawan Benjamin, Pengamat Ekonomi, Mahasiswa S3 UIN Sumatera Utara.